Senin, 30 November 2009

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS SOSIALISASI LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN FORMAL

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS SOSIALISASI LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN FORMAL

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup adalah satu kesatuan komunitas yang terdiri dari tanah, air, udara, flora dan sumber daya lainnya berserta makhuk hidup yang ada didalamnya. Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah mengalami degradasi lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA), penurunan tersebut baik secara kuantitas maupun kualitas. Penurunan degradasi ini dapat disebabkan oleh faktor alami maupun faktor non alami seperti tindakan manusia yang sengaja atau tidak sengaja yang memberikan dampak kepada degradasi lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab dengan cara mengekploitasi lingkungan hidup secara berlebih-lebihan. Manusia yang melakukan perusakan terhadap lingkungan hidup ini bertujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa memperdulikan dampak kerugian yang ditimbulkan.

Meningkatkan populasi manusia di bumi, semakin meningkatkan aktivitas terhadap lahan dan sumber daya potensial didalamnya dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia sehingga dalam jangka panjang akan terjadi ketergantungan yang luar biasa pada lingkungan alam. Ketika budaya dan cara pandangan seperti ini mewabah dan menjangkit semua orang, maka ekspoitasi terhadap alam dan lingkungan menjadi sebuah aktivitas yang lazim dilakukan, apalagi jika banyak pihak merasa diuntungkan dengan aktivitas tersebut.

Selama berapa dekade terakhir, isu kerusakan lingkungan telah mulai banyak disuarakan oleh masyarakat diberbagai belahan dunia. Kerusakan lingkungan hidup dapat berakibat kerugian multi dimensi yang sangat besar seperti pemiskinan lahan (melalui erosi), sumber air tanah yang menipis, hilangnya habitat alami dan berubahnya pola iklim baik setempat (iklim mikro) maupun iklim global (iklim makro). Tanpa adanya upaya konsepsional, dampak-dampak negatif tersebut sejalan dengan perubahan waktu akan berproses secara sinergis sehingga menimbulkan bencana alam yang dahsyat dan akan berjalan secara akseleratif (berjalan ganda semakin cepat). Hal ini terbukti dengan beberapa kali terjadinya bencana longsor, banjir, kebakaran hutan.

Selain pencemaran lingkungan darat, pencemaran udara akibat polusi dan efek rumah kaca kini banyak mencapai titik kulminasi merupakan fakta terparah yang tengan terjadi. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya kerusakan lapisan ozon dan pada puncaknya akan terjadi pemanasan global (global warming). Hal itu terjadi karena senyawa-senyawa kimia yang secara tidak sadar terus kita produksi dalam aktivitas sehari-hari akan menyebabkan timbulnya lubang di lapisan ozon yang berfungsi melindungi dari radiasi ultraviolet. Selain itu, penggunaan bahan bakar yang dapat menyebabkan terbentuknya gas-gas panas yang tidak dapat keluar dari lapisan atmosfer menjadi catatan kelam tersendiri dalam daftar panjang kerusakan lingkungan udara saat ini.

Oleh karena itu, diperlukan suatu kesadaran dan kepedulian dari semua elemen masyarakat untuk berperan serta dalam mengeleminasi degradasi lingkungan hidup dan dalam penanggulangan masalah degradasi lingkungan hidup sesuai dengan kapasitas kemampuan masing-masing.

B. Permasalahan yang dihadapi
Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindar dari penggunaan sumber daya alam, namun eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan. Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan sehingga dikhawatirkan akan memberikan dampak besar terhadap kehidupan manusia di bumi, terutama dengan besarnya populasi manusia. Beberapa masalah lingkungan hidup dan sumber daya yang dapat digambarkan adalah :
 Menurunnya kondisi hutan.
 Kerusakan Daerah aliran sungai (DAS)
 Rusaknya habitat ekosistem pesisir dan laut.
 Masih lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu.
 Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan.
 Perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming)
 Belum adanya alternatif pendanaan lingkungan.
 Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.

C. Tujuan
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam yang berupa tanaj, air dan udara dan sumber daya alam lainnya yang termasuk kedalam sumber daya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun, harus disadari bahwa sumber daya alam yang kita punyai memiliki keterbatasan didalam banyak hal, seperti keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Selain itu sumber daya tertentu juga mempunya keterbatasan dalam waktu dan ruang. Untuk itulah, dibutuhkan suatu pengelolaan sumber daya yang bijaksana dan baik antara lingkungan dan manusia yang saling mempunyai kaitan yang sangat erat. Ada saatnya dimana manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya sehingga dapat melakukan akitivitas kehidupan sehari-hari.

Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumber daya alam, namun ekspoitasi sumber daya alam yang berlebihan mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan. Oleh sebab itu, makalah ini berusaha untuk mengungkapkan suatu gambatan peningkatan penanggulan lingkungan hidup dengan cara melakukan sosialisasi di lingkungan formal.







II. Tinjauan Pustaka
A. Potret Lingkungan Hidup Di Daerah
Kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sector dan wilayah, dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan suatu perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Didalam pelaksanaan melibatkan banyak pihak serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan.

Partisipasi berbagai pihak dan pengawasan serta penataan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan dapat dijadikan suatu acuan untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat betul-betul diimplementasikan dilapangan dan tidak hanya sekedar slogan saja. Namun, pelaksanaan dilapangan sering kali bertentangan dengan apa yang telah direncanakan dan diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu.

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup didaerah dalam era otonomi daerah antara lain:
 Pendanaan yang masih kurang untuk bidang lingkungan hidup. Suatu program kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apalagi mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD untuk lingkungan masih terlalu rendah.
 Keterbatasan sumber daya manusia. Dalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai haruslah juga didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni. Saat ini masih banyak sumber daya manusia yang belum mendukung untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup.
 Eksploitasi sumber daya alam yang masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumber daya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan yang bertujuan untuk kesejehteraan masyakarat, namun pada kenyataannya tidaklah demikian, eksploitasi bahan tambang logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan yang seharusnya diperhatikan lebih banyak diabaikan, sehingga terjadi ketidakseimangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup belum dapat porsi yang sama dengan masalah perekonomian.
 Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Masih lemahnya pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup oleh sebagian besar masyarakat, hal ini perlu untuk diperhatikan dan ditingkatkan.
 Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dinikmati. Dari sisi ekonomi, penerapan teknologi instan ini menguntungkan tetapi merugikan lingkungan hidup. Contohnya penggunaan pupuk pestisida yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
 Lemahnya implementasi peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih sangat lemah. Ada beberapa pihak yang tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu.
 Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundnagan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan) namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukumnya.

Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.

B. Permasalahan Lingkungan yang sedang dihadapi saat ini.
1. Menurunnya kondisi hutan.
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, yang tidak hanya menunjang perekomian nasional tetapi juga untuk menjaga daya dukung lingkungan terhadap ekosistem. Indonesia dengan luas hutan terbesar dibandingkan Negara-negara ASEANm memiliki laju deforestasi tertinggi. Hal ini dapat mengakibatkan jumlah satwa Indonesia akan terancam punah tertinggi bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya.

Sebagian besar keanekaragaman hayati daerah tropis tersimpan dalam ekosistem hutan. Rusaknya ekosistem hutan berarti hilangnya sumber-sumber keanekaragaman hayati. Hutan merupakan jantung bagi sirkulasi oksigen dan karbondioksida, yang dapat menekan gas rumah kaca pemicu perubahan iklim. Walaupun luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan di bumi, total hutan Indonesia mencapai 120,35 juta hektar yang merupakan hutan tropis kedua terluas di dunia setelah Brazil. Hutan Indonesia merupakan setengah dari hutan tropis Asia saat ini.

Hutan juga merupakan sumber pendapatan negara potensial, dengan nilai US$ 6,6 miliar di tahun 2003 atau 13,7% pendapatan ekspor non migas. Jika memasukkan ekspor lokal yang tidak terdaftar, total pendapatan ekspor sektor kehutanan diperkirakan dapat mencapai lebih dari US$ 8 miliar. Masyarakat yang tinggal, hidup dan bergantung pada ekosistem hutan pada tahun 2007 berjumlah kurang lebih 48,8 juta penduduk. Dari keseluruhan penduduk yang hidup disekitar kawasan hutan itu, 10,2 juta orang diantaranya berada dalam keadaan miskin.
Ketergantungan pada sumber daya hutan menyebabkan perambahan hingga ke hutan lindung, yang pada tahun 2005 mencapai luasan 16.410 hektar dan perladangan berpindah seluas 13.823 hektar. Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Indonesia tercatat bahwa kerusakan hutan di Indonesia periode 2006 mencapai 59,2 juta ha, dengan laju deforestasi dan kegiatan pertambangan mencapai 1,6 – 2,4 juta hektar/tahun.

Kemerosotan kualitas sumber daya hutan terutama disebabkan oleh eksploatasi sumberdaya alam secara besar-besaran, baik legal maupun ilegal, kebakaran hutan, konversi lahan dan perambahan hutan. Kerusakan hutan telah menyebabkan bencana alam, seperti banjir dan longsor di musim hujan, kekeringan di musim kemarau dan hilangnya berbagai jenis keanekaragaman hayati yang mempunyai potensi dan menjadi sumber kehidupan masyarakat serta juga hilangnya kemampuan ekosistem hutan menyediakan jasa lingkungannya.

Kerusakan hutan juga menyumbang pada percepatan terjadinya perubahan iklim global, dengan meningkatnya emisi karbon akibat kebakaran hutan dan pembukaan hutan terutama hutan gambut. Pengurangan deforestasi, upaya konservasi dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi dapat membantu penyerapan emisi gas rumah kaca.

2. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS)
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juta dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya.

Banyak orang mengkaitkan peristiwa banjir dan tanah longsor dengan banyaknya illegal logging yang belakangan ini marak terjadi. ada juga yang menganggap bencana-bencana alam tersebut terjadi akibat saluran dan sungai yang tidak normal, sungai tidak mampu menampung aliran permukaan karena penuh sampah, daerah bantaran sungai dan daerah resapan dipakai sebagai permukiman. Mengapa banjir dan tanah longsor bias terjadi? Didalam DAS penggunaan lahan dibedakan atas: a) Hutan, biasanya berada di hulu, b) Kawasan budidaya,perkebunan,pertanian, c) Pemukiman, d) Rawa, waduk atau danau, bantaran sungai, e) Lahan industry, dan lain-lain. Air yang hujan dalam kawasan DAS akan mengalami beberapa kejadian yang berbeda.
 Pertama, air hujan yang jatuh dikawasan hutan akan menjadi uap kembali (evaporasi), mengalir urut batang (stemflow) turun ke tanah atau jatuh langsung dari dahan, ranting dan daun langsung ke tanah. Karena pada umumnya lapisan permukaan tanah hutan terdiri dari bahan organic (horizon O) yang berasal dari dekomposisi bahan tanaman, maka air yang sampai ke tanah akan mudah diresapkan kedalam tanah. Air yang jatuh ke tanah akan ditahan oleh lapisan tumbuhan bawah, berupa semak dan perdu, serta lapisan humus sehingga sedikit merusak partikel tanah.
 Kedua, lahan pertanian biasanya intensip digarap, disiangi, dipupuk sehingga tanaman bawah bersih. Akibatnya air hujan yang jatuh ketanah dapat langsung mencerai-beraikan partikel tanah dipermukaan lahan dan terjadi erosi. Hujan yang jatuh langsung dari langit ke permukaan lahan akan mencerai-beraikan partikel tanah dengan energy yang lebih besar sehingga erosinya akan semakin besar. Apalagi saat menjelang musim tanam, lahan biasanya dibersihkan sehinga saat hujan datang tetapi tanaman belum mampu melindungi tanah maka erosi akan terjadi. air yang meresap kedalam tanah lebih sedikit daripada yang mengalir sebagai aliran permukaan tanah (run-off) yang mampu menyebabkan erosi dan mengalir ke sungai bersama sedimen yang terangkut. Tanaman keras perkebunan berfungsi sama atau hamper sama dengan tanaman hutan. Karena dibawah tegakan terdapat tanaman penutup tanah yang mampu menahan pukulan air hujan. Air yang jatuh ke tanah akan meresap ke dalam tanah. Demikian pula, aliran permukaan dihambat oleh tanaman penutup, sisanya masuk ke sungai. Volume run-off dihambat oleh tegakan tanaman perkebunan, demikian pula sedimennya.
 Ketiga, pemukiman terutama di perkotaan sebagian besar terdiri dari bangunan kedap air, atap, halaman beton, jalanan aspal, saluran beton, sehingga air tidak diberi kesempatan meresap kedalam tanah. Akibatnya hampir semua air hujan mengalir ke sungai utama dan berakhir ke laut, waduk dan atau danau, termasuk semua bentuk limbah yang diangkut. Makin luas atau makin besar persentasi kawasan pemukiman dari suatu DAS maka makin besar air yang masuk ke sungai dan berpotensi menambah volume air sungai dan menimbulkan banjir di musim penghujan. Meskipun demikian erosi di kawasan pemukiman di perkotaan relative kecil disbanding dengan pedesaan atau kawasan budidaya.
 Keempat, air hujan yang jatuh ke permukaan air di waduk, danau, dam, atau sungai akan menambah langsung volume air yang tercermin dengan naiknya permukaan air. Secara langsung tidak menyebabkan erosi, tetapi kalau air tersebut mengalir maka kecepatan aliran akan dapat mengikis dinding/tebing saluran/badan air dan mengangkutnya ke hilir.
Bantaran sungai (flood plain) merupakan kawasan cadangan aliran sungai. Dalam keadaan aliran sungai melebihi normal, maka aliran air akan memenuhi bantaran sungai. Dalam keadaan curah hujan yang luar biasa besar (siklus 50 tahunan atau lebih), air akan melimpah ke daerah rendah di sekitar bantaran sungai, padahal bantaran sungai tidak diperuntukkan bagi pemukiman.

Banjir, erosi, tanah longsor, dan kekeringan menjadi masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah. Beberapa daerah tergenang air, tanah, longsor, banjir lumpur, jalur jalan putus, dan rakyat perkampungan terisoloasi pada musim penghujan. Pada musim kemarau, bantak rakyat mengalami kekurangan air bersih, beribu-ribu hektar tanaman padi mengalami kekurangan air, pembangkit listrik tenaga air menurun kapasitasnya, waduk dan saluran pengairan kering. Jika suatu daerah terancam gagal panen, kekurangan pangan akan mengancam wilaya lainnya, dan stock pangan bulog terancam tak terpenuji karena gagal panen, sehingga harus menyebabkan impor. Kejadian ekstrim ini silih berganti antara musim kemarau dan penghujan.

3. Rusaknya habitat ekosistem pesisir dan laut.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di Coral Triangle yang merupakan pusat episentrum keanekaragaman hayati laut dunia, dengan lebih dari 70 genera karang keras. Jumlah pulau yang ada diperkirakan lebih dari 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km. Disamping itu, dua pertiga wilayah Indonesia, yaitu seluas 580 juta hektar adalah perairan laut. Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar 51.000 km2, yang ternyata melingkupi 51% dari terumbu karang di Asia Tenggara, dan 18% terumbu karang di dunia. 37% dari jenis ikan dunia hidup didalam wilayah Indonesia.

Proses evolusi pada pulau-pulau kecil sering menyebabkan terbentuknya spesies endemik yang khas pada pulau-pulau tersebut, karena isolasi geografis yang menyebabkan seleksi alam dan proses adaptasi untuk tiap pulau akan berbeda. Endemisitas spesies pada pulau-pulau yang berbeda ini akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kekayaan keanekaragaman hayati dunia. Dari segi ekologi, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap tekanan penduduk dan perubahan iklim. Kombinasi antara ukuran pulau yang kecil dan jumlah penduduk yang besar dapat mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya alam yang terbatas di ekosistem tersebut.

Masyarakat dan negara menggantungkan pendapatannya dari ekosistem ini. Secara umum, diperkirakan sekitar 16% penduduk Indonesia bergantung pada sumber daya laut untuk kecukupan protein sumber pangannya. Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi antara lain: perikanan, perlindungan pesisir, farmasi, kosmetika, pariwisata dan regulasi iklim. Jika divaluasi, nilai dari produk dan jasa ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1.6 miliar per tahun. Industri di pesisir dan laut, seperti pabrik minyak dan gas, transportasi, perikanan, dan pariwisata, mewakili 25% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Negara dan 15% dari lapangan pekerjaan di Indonesia. Indonesia juga merupakan eksportir karang hias terbesar di dunia.

Ancaman bagi ekosistem ini sangat besar, mulai dari penangkapan ikan secara berlebihan disertai cara-cara penangkapan yang destruktif sifatnya, seperti pengeboman dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan juga terjadi pada habitat pesisir laut yang disebabkan antara lain oleh aktivitas kerusakan di hulu, bahan buangan industri, sampah rumah tangga, polusi bahan pertanian dan limbah bahan bakar transportasi laut. Pembangunan wilayah pesisir yang tak terintegrasi serta penambangan pasir yang tak terkendali menyebabkan terkikisnya ekosistem pesisir. Ancaman lain adalah akibat perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya temperatur laut dan menyebabkan terjadinya pemutihan karang yang luas di Indonesia.

4. Masih lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu.
Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan illegal lainnya banyak terjadi. Diperkirakan kegiatan-kegiatan illegal tersebut saja telah menyebabkan hilangnya hutan seluas 1,2 juta hektar per tahun, melebihi luas hutan yang ditebang berdasarkan ijin Departemen Kehutanan. Selain penegakan hukum yang lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.

5. Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan.
Sumber daya manusia, pendanaan, sarana-prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Sebagai contoh, jumlah polisi hutan secara nasional adalah 8.108 orang. Hal ini berarti satu orang polisi hutan harus menjaga sekitar 14.000 hektar hutan. Dengan pendanaan, sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah tersebut jelas tidak memadai karena kondisi yang ideal satu polisi hutan seharusnya menangani 100 hektar (untuk kawasan konservasi di Jawa), sementara untuk kawasan konservasi di luar Jawa sekitar 5.000 hektar. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga sangat rendah.

6. Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakan pengelolaan limbah secara terpadu dan sistematis.
Meningkatnya pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan limbah padat dan sampah domestik secara signifikan, yang akhirnya membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sebagai gambaran, di Jabodetabek umur operasi TPA rata-rata tinggal 3-5 tahun lagi, sementara potensi lahan sangat terbatas. Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara serius. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Basel Convention saat ini hanya ada satu fasilitas pengolahan limbah B3 yang dikelola swasta di Cibinong. Tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya mengurangi paparan limbah padat dan B3 terhadap lingkungan.

7. Perubahan Iklim (Climate Change) dan pemanasan global (global warming)
Fenomena kekeringan (El Niño) dan banjir (La Niña) yang terjadi secara luas sejak tahun 1990-an membuktikan adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150 tahun lalu, suhu rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6°C akibat emisi gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti CO2, CH4, dan NOx dari negara-negara industri maju. Sampai tahun 2100 mendatang suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,4-5,8 °C. Keseimbangan lingkungan global terganggu, glacier dan lapisan es di kutub mencair, permukaan laut naik, dan iklim global berubah. Indonesia, sebagai negara kepulauan di daerah tropis, pasti terkena dampaknya. Oleh karena itu adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut mutlak dilakukan, khususnya yang terkait dengan strategi pembangunan sektor kesehatan, pertanian, permukiman, dan tata-ruang. Di lain pihak, isu perubahan iklim memberi peluang tersendiri bagi Indonesia, yang telah meratifikasi Kyoto Protocol, di mana negara-negara industri maju dapat ‘menurunkan emisinya’ melalui kompensasi berupa investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism) di negara berkembang seperti Indonesia.

8. Belum adanya alternatif pendanaan lingkungan.
Alokasi dana pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan negara, maka upaya pendanaan alternatif harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax. Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan negara sangat kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif.

9. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.
Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara, iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan.




III. SOSIALISASI LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN FORMAL

1. Sosialisasi Lingkungan Hidup Usia Dini
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Bapedalda dapat menyelenggarakan sosialisasi lingkungan hidup bagi anak usia dini. Kegiatan tersebut dilaksanakan bagi siswa-siswi tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para siswa TK dan SD tersebut seperti melakukan pemutaran film bertema lingkungan hidup. Setelah itu baru dilakukan penyampaian materi mengenai lingkungan hidup yang mencakup lingkungan sekitar, air, tanah dan udara. Untuk memancing minat para siswa TK dan SD tersebut dapat dilakukan dengan pemberian hadiah menarik bagi anak-anak yang mampu menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh si nara sumber.

2. Sekolah Lapangan berbasis masyarakat.
Pemerintah dalam upaya untuk membantu masyarakan dalam melakukan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dapat dilakukan dengan fasilitasi sekolah lapangan. Pendekatan pendidikan ini menyatukan proses penilaian mata pencarian berkelanjutan dalam kerangka kerja ekologi air, dan memungkinkan masyarakat mempunyai kontrol yang lebijh besar terhadap mata pencarian mereka dan lingkungan tempat tinggal. Dengan adanya sekolah lapangan ini diharapkan para peserta dapat belajar bagaimana menerapkan keterampilan dalam rehabilitasi lahan, pelestarian keanekaragaman hayati air bersih dan sanitasi berbasis masyakarat dan perubahan perilaku kesehatan dan kebersihan.

3. Kajian Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Penanggulangan Sampah Kota
Untuk melakukan penanganan sampah perkotaan dapat dilakukan dengan melakukan seminar-seminar tentangan kajian lingkungan hidup. Dalam hal ini Pemerintah dapat memberikan masukan dan solusi kepada masyarakat dalam penanggulangan sampah pada khususnya lingkungan hidup.

Beberapa pokok pikiran sebagai rumusan hasil seminar sehari tersebut antara lain:
1. Penanganan masalah lingkungan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah.
 Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak.
 Apabila sampah ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi.Air limbah bila diolah tidak akan merugikan
 Kendala utama adalah masalah SDM karena UU dan Hukum sudah lengkah, dan sosialisasi telah dilaksanakan.
 Harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat
2. Pemberdayaan Masyarakat di lokasi pembuangan sampah
 Sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi.
 Merubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah
 Pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru.
Upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi/KIE dalam pengelolaan sampah kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat.
 Upaya pengembangan pembentukan kelompok usaha produktif
 Pengembangan Pengolahan melalui metode 4 R (Reduce, Reuse, Recycle, Replace
 Mekanisme operasional pengelolaan sampah melalui PKK
 Kompos digunakan oleh KWT (Kelompok Wanita Tani)
3. Pokok-pokok Pikiran Akademis dalam mengatasi masalah sampah :
 Sampah bukan harus dibuang, tetapi harus dikelola
 Pengelolannya perlu memberdayakan masyarakat
 Terbuka peluang usaha
 Implementasi perlu melibatkan pihak : masyarakat, swasta/mitra kerja, pemerintah.
4. Harapan penduduk/masyarakat yang bermukim dekat TPA
 Sampah semula jadi masalah yang besar, namun bila dikelola dengan baik dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
5. Pokok-Pokok Pikiran dalam mengatasi masalah persampahan di perkotaan :
 Sampah bisa menjadi nilai ekonomi
 Dalam pelaksanaannya fenomena sampah mengundang institusi lokal
 Pemerintah/dunia usaha/masyarakat harus sinergis menanggulangi sampah dengan pendekatan bisnis.
 Dianjurkan penanggulangan sampah skala komunal terbatas 1 RT atau per 100 rumah
 Peran pendidikan dan sosialisasi dengan PERDA secara intensif dan sanksi


4. PENINGKATAN KAPASITAS KADER LINGKUNGAN HIDUP MASYARAKAT TRADISIONAL DAN ADAT MELALUI PELATIHAN PEMBIBITAN TANAMAN KEHUTANAN.
Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan kapasitas kader pedesaan (tradisional dan adat) peduli Lingkungan Hidup baik Sumber Daya Manusia maupun kelembagaan. Melalui kegiatan pelatihan pengelolaan Sumber Daya Alam ramah lingkungan dan pembuatan kebun bibit berbasis swadaya masyarakat, diharapkan sumber daya manusia (SDM) kader dapat ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar