Minggu, 10 Januari 2010

Pendekatan holistik dalam pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan di kawasan persawahan ber-irigasi.


Pendekatan holistik dalam

pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan

di kawasan persawahan ber-irigasi.

OLEH:

APRIADI S BUSRI

NIM: 2009 360 2007












BAB I. PENDAHULUAN

1,1. Latar Belakang
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan dan pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.

Irigasi merupakan faktor kunci bagi ketahanan pangan di Indonesia, air untuk irigasi pertanian di Indonesia sebagian besar kebutuhannya dipenuhi dari pengunaan air permukaan seperti sungai, danau, waduk (bendungan) yang ditampung dalam bendung dan bendungan, dimana sebagian kecil lainnya dipenuhi dengan menggunakan air tanah. Menurut Data sampai saat ini lahan pertanian di Indonesia yang beririgasi sebesar 1,971, 450 ha lahan pertanian (Prawiro, 2003), sedangkan kebutuhan air untuk 1 ha lahan sawah yang dikelola secara konvensional diperlukan sebanyak 1 liter/detik dengan asumsi laju kehilangan akibat penguapan 1-2 mm perhari, jika kita menghitung dengan cermat untuk satu kali musim tanam selama (3-4 bulan) maka akan dihabiskan air sebanyak 11.509. 200 liter / ha (Prawiro, 2006). Berapa air yang diperlukan untuk mengairi lahan pertanian sebesar di atas?, diperkirakan diperlukan sebanyak 100 milyar m3/tahun. Sementara dari sektor rumah tangga diperkirakan untuk per 1000 orang diperlukan air sebanyak 31.356 m3 /tahun, setiap mencetak sawah satu hektar selama setahun diperlukan air sebanyak 41.109 m3 /tahun, sehingga dapat disimpulkan setiap satu hektar sawah bersaing dengan sekitar 1.300 orang (Prawiro, 2006).
Sementara di sisi lain hasil pencitraan satelit luas hutan Indonesia hanya sebesar 18,57%, idealnya luas hutan harus mencapai 30% dari seluruh total wilayah agar keseimbangan air terjaga (Prawiro, 2006), keadaan ini mengakibatkan Indonesia menjadi daerah langganan Banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Permasalahan lain yang berkaitan dengan air adalah tingkat pencemaran air yang terus meningkat dari tahun ketahun yang disebabkan oleh laju populasi yang tidak terkendali dan fenomena industry “masuk desa, akibat dibukanya “kran” kebebasan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya secara mandiri, membuat daerah beramai-ramai mengikat investor untuk membangun industry didaerahnya dengan menawarkan pajak yang menggiurkan dengan melupakan dan mengabaikan kajian dampak lingkungan, hal ini mengakibatkan roda perekonomian menjadi bergerak lebih cepat seiring dengan gradasi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh industri.
Mengupas permasalahan berkaitan dengan air tidak terlepas dari cerita siklus hidrologi air. Akibat dari energi terjadi proses evaporasi pada permukaan bumi dan menghasilkan uap air, kemudian uap air ini akan mengalami kondensasi dan turunlagi ke bumi sebagai hujan (Lubis, 2007). Secara lebih jelas dapat di lihat pada gambar berikut.

Gambar : Siklus Hidrologi

Hujan yang turun kepermukaan bumi, kemudian ada yang mengalir dipermukaan menjadi sungai, danau dan ada sebagian yang terus meresap ke dalam tanah dan sebagian ada yang menguap lagi, air yang mengalir dipermukaan di sebut dengan air permukaan, sedangkan yang meresap ke dalam tanah disebut dengan air tanah. Air yang dimanfaatkan untuk irigasi di Indonesia, biasanya menggunakan air permukaan ini sebagian kecil memanfaatkan air tanah.

1.2. Permasalahan

Perubahan peruntukan lahan persawahan beririgasi didaerah dataran tinggi merupakan suatu proses perubahan iklim dimana tadinya hutan merupakan produksi karbon terbesar maka sejak pengurangan kawasan hutan menjadi daerah persawahan, pemukiman dan kadang kadang industri hasil hutan seperti perkayuan, rotan dan lain lain maka produksi karbon tersebut berkurang yang pada akhirnya nanti kalau dibiarkan terus menerus akan berdampak secara sistemik dalam kerusakan ozon di atmosfir dan hal ini akan menjadi permasalahan hidup manusia di dunia ini.
Permasalahan selanjutnya adalah kebutuhan manusia di Indonesia akan padi yang merupakan sumber konsumsi setiap hari ( pagi, siang, malam ) sangat besar, sesuai dengan standart pegawai negeri setiap bulan mendapatkan jatah beras sebesar 10 kg/bulan, maka kalu dibanding dengan jumlah penduduk di Indonesia yang lebih kurang 220 juta jiwa dan yang menkonsumsi beras sebanyak 90%, maka kebutuhan akan beras sebanyak 198 juta jiwa dikali 10 kg/bulan adalah sebesar 1.980 juta kg/bulan atau 1.980.000 ton/bulan, berarti negara republik Indonesia ini perlu mengadakan beras sebanyak 23.760.000 ton/tahun.sedangkan seperti telah dijelaskan diatas bahwa luas lahan pertanian di Indonesia yang ber irigasi dan non irigasi adalah seluas 1.971.450 ha.
Maka persawahan beririgasi merupakan suatu kebutuhan yang sangat besar bagi kehidupan manusia di Indonesia , baik melalui sawah yang beririgasi maupun non irigasi yang mendapatkan air dari hujan maupun pasang surut air laut ( sawah didaerah dataran rendah yang dipengaruhi pasang surut air laut, atau dilahan basah ), pada saat ini permasalahan pencemaran air untuk sawah beririgasi sudah banyak terjadi dan hal ini disebabkan oleh karena pertumbuhan populasi yang tidak terkendali, pertumbuhan populasi ini mengakibatkan terjadinya pergeseran penggunaan lahan (tata guna lahan) dari hutan dan pertanian menjadi wilayah pemukiman dan industri, yang kadang kadang dijadikan anekdot “ menanam padi tumbuhnya rumah “, di satu sisi perubahan ini membawa dampak perubahan ekonomi yang signifikan, namun di sisi lain perubahan ini banyak mengakibatkan permasalahan terhadap lingkungan, berkurangnya daerah resapan air akibat peralihan tataguna lahan mengakibatkan berobahnya musim yang pada akhirnya akan terganggunya proses hidrologi.
Selain itu juga akibat pertambahan populasi dan perkembangan industri yang cukup pesat mengakibatkan produksi limbah industri dan domestik menjadi ikut-ikutan meningkat pula, dan hampir sebagian besar limbah-limbah tersebut dibuang seenaknya di saluran pembuang irigasi dan sungai-sungai tanpa terlebih dahulu melakukan treatment untuk mereduksi air. polutan-polutan berbahaya agar tidak terkontaminasi dalam air sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran.

1.2.1 Akibat Banjir, Erosi, Longsor, Kebakaran hutan

Persawahan di Indonesia saat ini juga sedang mengalami degradasi, sejalan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas lahan persawahan . Proses degradasi multi fungsi lahan yang paling signifikan adalah konversi lahan persawahan , karena proses ini menghilangkan semua fungsi persawahan bersamaan dengan beralihnya fungsi lahan persawahan itu sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan terjadinya erosi dan longsor dan kebakaran hutan atau lahan, Kebakaran hutan atau lahan terjadi setiap tahun di Indonesia, terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bappenas (1998), di Indonesia sekitar 1,50 juta ha lahan gambut terbakar selama musim kemarau 1997. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran lahan gambut seluas 0,50 juta ha di Kalimantan pada musim kemarau 1982 dan 1983. Kebakaran ini menurut Jaya et al. (2000) secara langsung mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas tanah humus dan gambut.
Kebakaran hutan juga menimbulkan kerugian seperti gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002).
Di sisi lain, lahan persawahan juga sering terdegradasi oleh banjir dan longsor. Pada tahun 1998−2004 di Indonesia terjadi banjir 402 kali dan longsor 294 kali, yang mengakibatkan kerugian materiil Rp 668 miliar (Kartodihardjo 2006).
Banjir dan longsor membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke tempat di bawahnya, dan menimbulkan kerusakan lahan persawahan baik di lokasi longsor maupun pada lahan persawahan yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut.
Lahan persawahan beririgasi yang terkena banjir dan longsor tersebut jelas terdegradasi multifungsinya. Kondisi sumber daya alam Indonesia cenderung mempercepat laju erosi dan longsor, terutama tiga faktor berikut :

curah hujan yang tinggi,

Lereng yang curam,

Tanah yang peka erosi.

Salah satu faktor atau gabungan faktor-faktor tersebut akan menyebabkan tingginya laju erosi. Dari ketiga faktor alami tersebut, faktor lereng merupakan penyebab erosi alami yang paling dominan di samping curah hujan yang tinggi. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng >3% dengan topografi bervariasi dari datar agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng 102 Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 <3%) hanya sekitar 42,60 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia

1.2.2 Akibat bahan Agro kimia

Sebagian besar lahan persawahan beririgasi di Indonesia juga mengalami penurunan kualitas akibat penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti insektisida, pestisida, dan herbisida. Penggunaan bahan kimia tersebut meninggalkan residu dalam tanah serta dalam bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Data lapangan menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, berupa organofosfat, organoklorin, dan karbamat .
Akibat kebakaran ini hutan menurut Jaya et al. (2000) secara langsung mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut. Kebakaran hutan juga menimbulkan kerugian seperti gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002). Di sisi lain, lahan pertanian juga sering terdegradasi oleh banjir dan longsor. Pada tahun 1998−2004 di Indonesia terjadi banjir 402 kali dan longsor 294 kali, yang mengakibatkan kerugian materiil Rp 668 miliar (Kartodihardjo 2006). Banjir dan longsor membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke tempat di bawahnya, dan menimbulkan kerusakan lahan pertanian baik di lokasi longsor
maupun pada lahan pertanian yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Lahan pertanian yang terkena banjir dan longsor tersebut jelas terdegradasi multifungsinya.

1.3. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan terhadap ekosistem persawahan beririgasi, perlu diketahui pengembangan irigasi di indonesia dengan tujuan agar masyarakat petani dapat menikmati sistim persawahan beririgasi yang baik, petani dapat merasakan kemudahan didalam bertani dengan irigasi teknik yaitu bagamana air mengalir dengan sempurna melalui bendung yang menangkap air dari sumbernya dan air dibawa oleh saluran pembawa utama / primer kemudian sekunder, tersier dan kwarter ke daerah persawahan dan juga pemanfaatan sawah non irigasi( sawah lebak dan rawa ) yang menggunakan air hujan dan pengaruh pasang surut. Pemanfaatkan air irigasi dan teknik pertanian dengan sistem pembagian air dengan teratur yang pada akhirnya petani akan mendapatkan hasil sesuai dgn harapan.juga seperti cara pemupukan yang berlebihan akan menjadi permasalahan lingkungan seperti rusaknya zat zt yang terkandung dipermukaan tanah dan juga menimbulkan tumbuh tumbuhan lain yang akan merusak ekosistem lainnya seperti berkembangnya tumbuhan enceng gondok., permasalahan sekarang banyak terjadi kerusakan dan pencemaran di daerah persawahan beririgasi yang diakibatkan ulah manusia serperti perobahan peruntukkan daerah sawah menjadi pabrik, perumahan, perluasan daerah kampung maupun perkotaan,juga terjadi pembuangan air limbah sembarangan dari kota maupun pabrik yang pada akhirnya terjadi kerusakan dan pencemaran pada ekosistem daerah persawahan beririgasi.yang kadang kadang berlokasi dibagian hilir perkotaan.
Untuk itu perlu sekali diamati,dilihat dan dirasakan beberapa hal tersebut supaya dapat dipelajari bagaimana teori dan methodologinya serta diadakan pendekatan secara holistik dalam pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan di kawasan persawahan ber-irigasi. agar hal ini tidak terus menerus terjadi dan kemudian dapat dicari jalan terbaiknya.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persawahan beririgasi

Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan persawahan beririgasi , Dalam dunia modern saat ini banyak model irigasi yang dapat dilakukan oleh manusia. Menurut sejarah pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah dan tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu persatu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. System irigasi ini sudah dimulai sejak masa Mesir kuno.
Irigasi adalah proses penambahan air untuk memenuhi kebutuhan lengas tanah bagi pertumbuhan tanaman. (Israelsen & Hansen, 1980). Sedangkan menurut PP 77/2001, Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi rawa. Menurut PP Irigasi No.20/2006, Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, pemanfaatan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Fungsi irigasi adalah memasok kebutuha air tanaman, menjamin ketersediaan air apabila terjadi betatan, menurunkan suhu tanah, mengurangi kerusakan akibat frost, dan melunakkan lapis keras pada saat pengolahan lahan. Irigasi dapat dibedakan berdasarkan jenis-jenisnya sesuai dengan kebutuhan, antara lain:

Irigasi permukaan

Irigasi permukaan merupakan system irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bending maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake), kemudia air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian. Didalam system ini, dikenal saluran primer, sekunder dan tersier. Pengatruran air dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapatkan air lebih dulu.
Irigasi lokal
Sistem ini, air didistribusikan dengan cara pipanisasi. Disini juga berlaku gaya gravitasi dimana lahan yang tinggi mendapatkan air lebih dahulu. Namun air yang disebarkan hanya terbatas sekali atau secara lokal.

Irigasi dengan penyemprotan
Penyemprotan biasanya dipakei penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.
Irigasi tradisional dengan ember
Diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Selain itu irigasi ini juga melakukan pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.
Irigasi Pompa air
Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau, irigasi ini dapat terus mengairi sawah.
Irigasi tanah kering dengan terasisasi
Di Afrika, sering dipakai sistem terasisasi untuk distribusi air.

2.2. Jenis Pencemaran

Pencemaran air terjadi apabila dalam air terdapat berbagai macam zat atau kondisi (misal Panas) yang dapat menurunkan standar kualitas air yang telah ditentukan, sehingga tidak dapat digunakan untuk kebutuhan tertentu. Suatu sumber air dikatakan tercemar tidak hanya karena tercampur dengan bahan pencemar, akan tetapi apabila air tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan tertentu, sebagai contoh suatu sumber air yang mengandung logam berat atau mengandung bakteri penyakit masih dapat digunakan untuk kebutuhan industri atau sebagai pembangkit tenaga listrik, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (keperluan air minum, memasak, mandi dan mencuci).
Ada beberapa penyebab terjadinya pencemaran air antara lain apabila air terkontaminasi dengan bahan pencemar air seperti sampah rumah tangga, sampah limbah industri, sisa-sisa pupuk atau pestisida dari daerah pertanian, limbah rumah sakit, limbah kotoran ternak, partikulat-partikulat padat hasil kebakaran hutan dan gunung berapi yang meletus atau endapan hasil erosi tempat-tempat yang dilaluinya.

2.3. Dampak Pencemaran Air Untuk Irigasi

2.3.1. Akibat Bagi Kesehatan Manusia.
Pengaruh penggunaan air tercemar untuk irigasi pertanian bila kita kaji sebenarnya dapat berdampak positif dan negatif terhadap manusia, namun dampak positifnya hampir tidak ada satu pun kajian ilmiah yang mendukungnya, kecuali bahwa penggunaan air tercemar untuk irigasi terbukti selama ini mampu menghasilkan income bagi para petani serta menjaga ketahanan pangan di negeri ini. Sedangkan dampak negatif dari penggunaan air tercemar terkait dengan kesehatan manusia tidak perlu disangsikan banyaknya.
Kasus penggunaan air tercemar untuk irigasi yang sangat terkenal terhadap kesehatan manusia adalah kasus di Tanzania, air irigasi tercemar ini menjadi vector nyamuk Malaria yang menyebabkan Tanzania menjadi salah satu daerah endemic penyakit malaria sampai saat ini (Armon, 2002). Pengaruh negatif lain akibat penggunaan air tercemar dalam irigasi pertanian adalah kandungan air tercemar yang biasanya mengandung bakteri-bakteri patoghen dan racun-racun kimia, terkait dengan hal ini ada empat kelompok orang yang sangat berisiko tertular patoghen atau ‘teracuni’ zat kimia yaitu, 1) petani dan keluarganya, 2) buruh-buruh tani yang bekerja di lahan yang menggunakan air tercemar, 3) konsumen yang mengkonsumsi produk pertanian yang diolah dengan menggunakan air irigasi yang tercemar, dan 4) semua orang yang berdekatan dengan area pertanian yang menggunakan air tercemar terutama yang paling beresiko adalah anak-anak dan orang tua.

Air tercemar banyak mengandung organisme-organisme yang berbahaya dan menyebabkan banyak penyakit, di dalam air tercemar banyak pathogen yang mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama sampai tertransmisikan ke tubuh manusia, seperti cacing-cacing parasit (Braton, 1993), bakteri-bakteri patoghen (Armon, 2002), dan lain-lain. Penyakit cacingan yang kita kenal selama ini salah satu penyebabnya diakibatkan dari penggunaan air tercemar dalam irigasi, selain jeleknya sanitasi lingkungan. Penyakit lain selain yang disebabkan cacing adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri pathogen, bakteri-bakteri ini dilaporkan dapat mengancam pengguna air tercemar dalam irigasi dan menyebabkan penyakit seperti cholera, typhoid, shighellosis, gardiasis, dan amaebiasis.

Sedangkan dampak negatif yang terkait kandungan zat kimia berbahaya dalam air irigasi yang tercemar dapat dijelaskan sebagai berikut; biasanya zat kimia berbahaya yang terdedah dalam air yang tercemar adalah unsur-unsur logam. Pada jumlah kecil biasanya logam-logam ini secara biologis sangat diperlukan, namun dalam jumlah yang besar dapat membahayakan bagi tubuh. Beberapa zat kimia yang sering ditemukan pada air tercemar untuk irigasi antara lain adalah cobalt, tembaga, dan seng (Armon, 2002), hal ini dikarenakan tanaman tidak mengasorbsi zat kimia ini, dan dalam keadaan melebihi ambang batas dapat berbahaya bagi manusia dan tumbuhan itu sendiri, beberapa laporan penelitian mengindikasikan jika tubuh terdedah polutan ini dalam jangka waktu yang lama akibat mengkonsumsi hasil produksi pertanian yang tercemar dapat memicu terjadinya kanker.

2.3.2 Akibat Bagi Tanaman Pertanian

Akibat penggunaan air tercemar untuk irgasi pertanian bagi tanaman pertanian, paling tidak dapat diklasifikasikan menjadi dua akibat yaitu :
Akibat terhadap hasil produksi pertanian,
Akibat terhadap mutu produksi pertanian, seperti kehadiran polutan dalam hasil pertanian, perubahan rasa, dan lain-lain.
Harus diakui bahwa hampir sebagian besar air tercemar mengandung zat-zat organik yang dapat menyuburkan tanaman, namun kondisi sebenarnya dalam air tercemar biasanya zat organic ini dalam jumlah yang berlebihan, akibat dari hal ini yaitu menyebabkan kerusakan pada tanaman, sebagai contoh kelebihan kandungan nitrogen pada tanaman akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman secara vegetatif menjadi meningkat dari pada menghasilkan buah, selain itu dampak lainnya adalah mengakibatkan penundaan kemasakan buah, temuan ini biasanya ditemukan pada tanaman padi, jangung dan beberapa tanaman lain, bila hal ini terjadi maka dapat menimbulkan kerugian bagi petani karena turunnya produksi dan mutu hasil pertanian. Ancaman lain yang dihadapi adalah terkontaminasinya tanaman pertanian oleh logam-logam berat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman itu sendiri dan manusia yang mengkonsumsinya.

2.3.3 Akibat Bagi Tanah Pertanian

Tanah merupakan campuran dari mineral dan zat organik dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada tiap-tiap daerah, dengan alasan ini rasanya sangat sulit untuk mengkaji dan meneliti apakah penggunaan air tercemar (dengan pencemar zat organic) menyebabkan ‘masalah’ bagi tanah atau malah menyebabkan kesuburan bagi tanah. Sebagai contoh nitrogen merupakan salah satu zat organik yang banyak ditemukan dalam air yang tercemar. Nitrogen dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, misalkan nitrat, nitrit, ammonia, dan nitrogen itu sendiri, banyak tanaman hanya menyerap nitrat, tetapi bentuk lain ditranformasikan ke dalam tanah, namun sampai saat ini tidak ada kajian terhadap pengaruhnya bagi tanah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh tanah, jika yang terbawa oleh air irigasi tercemar berupa logam, dalam jumlah yang normal logam ini tidak berdampak apapun bagi tanah namun dalam jumlah yang cukup besar dapat merusak struktur tanah, misalkan dapat meningkatkan PH tanah menjadi lebih asam atau lebih basa. Air irigasi tercemar yang membawa zat pencemar berbetuk solid lama-lama kelamaan akan mengumpul pada permukaan tanah dan menyebabkan tersumbatnya pori-pori tanah sehingga tanah menjadi tidak subur.


BAB III. KAJIAN PENDEKATAN HOLISTIK

Permasalahan mengenai penggunaan air untuk irigasi merupakan masalah yang mendesak untuk dipikirkan bagaimana mencari solusi penanganannya, sebelum masalah ini menjadi besar.maka Irigasi merupakan faktor kunci bagi ketahanan pangan di Indonesia, air untuk irigasi pertanian di Indonesia sebagian besar kebutuhannya dipenuhi dari pengunaan air permukaan seperti sungai, danau,waduk (bendungan) yang ditampung dalam bendung dan-bendungan, Akar masalah dari hal ini adalah tercemarnya air untuk irigasi persawahan akibat pembuangan limbah industri dan rumah tangga terutama pada air-air permukaan., Irigasi merupakan faktor kunci bagi ketahanan pangan di Indonesia, air untuk persawahan ber irigasi di Indonesia sebagian besar kebutuhannya dipenuhi dari penggunaan air permukaan seperti sungai, danau,waduk (bendungan) yang ditampung dalam bendung dan-bendungan Selain itu juga akibat pertambahan populasi dan perkembangan industri yang cukup pesat mengakibatkan produksi limbah industri dan domestik menjadi ikut-ikutan meningkat pula, dan hampir sebagian besar limbah-limbah tersebut dibuang seenaknya di saluran pembuang irigasi dan sungai-sungai tanpa terlebih dahulu melakukan treatment untuk mereduksi air. polutan-polutan berbahaya agar tidak terkontaminasi dalam air sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran
Persawahan di Indonesia saat ini juga sedang mengalami degradasi, sejalan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas lahan persawahan . Proses degradasi multifungsi lahan yang paling signifikan adalah konversi lahan persawahan , karena proses ini menghilangkan semua fungsi persawahan bersamaan dengan beralihnya fungsi lahan persawahan itu sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan terjadinya erosi dan longsor dan kebakaran hutan atau lahan, Kebakaran hutan atau lahan terjadi setiap tahun di Indonesia, Banjir dan longsor membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke tempat di bawahnya, dan menimbulkan kerusakan lahan persawahan baik di lokasi longsor maupun pada lahan persawahan yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Lahan persawahan beririgasi yang terkena banjir dan longsor tersebut jelas terdegradasi multifungsinya.
Ada beberapa rekomendasi penanganan terkait dengan hal ini antara lain adalah:
Tindakan Pencegahan/Preventif
Polutan seperti logam berat, dan beberapa zat organik yang bersifat toksit yang dikeluarkan oleh industri biasanya sangat sulit untuk dihilangkan dari air yang tercemar, salah satu langkah yang paling sederhana adalah ‘mencegah’ terjadinya pengotoran limbah industri dan limbah domestik pada sumber daya air. Pabrik-pabrik diwajibkan mengolah limbah mereka sampai dengan tingkat aman sebelum dapat dibuang ke sungai-sungai, perlu juga dipromosikan cleaner industri processes, juga diperlukan pendidikan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan pada masyarakat sebagai penyumbang terbesar limbah domestik.

Treatment Terhadap Air Pencemar
Permasalahan utama dari permasalahan air saat ini adalah sebagian besar air permukaan sudah tercemar dengan tingkat yang semakin mengkhawatirkan dari wakti ke waktu. Terkait dengan hal tersebut selain tindakan preventif seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu langkah yang terpenting adalah usaha untuk ‘menyingkirkan’ polutan-polutan yang terlanjur terdedah di dalam air tercemar tersebut. Salah satu langkah yang dapat diambil terkait dengan hal ini adalah dengan melakukan treatment pada air yang sudah tercemar untuk menurunnkan kadar polutan dalam air sehingga layak untuk dimanfaatkan bagi kehidupan sehari-hari manusia termasuk irigasi.


3.1. Manajemen Air dan Penegakan Hukum

Dari semua solusi di atas tidak akan efketif jika tidak didukung oleh Political Will dari pemegang otoritas kebijakan. Pemegang kebijakan perlu mengeluarkan aturan yang memihak terhadap lingkungan tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi belaka. Banyak negara di dunia ini mempunyai sistem pemerintahan yang mal fungsi secara serius. Kebijakan yang diambil lembaga eksekutif dan legislatif, daerah kabupaten dan daerah propinsi sering kali overlaping, tidak konsisten dan yang lebih parah tidak peka terhadap permasalahan lingkungan, terutama dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan kebijakan terhadap lingkungan. Banyak hukum yang telah dibuat tidak ditegakkan dan dapat ’dibeli’, mengakibatkan tidak berwibawanya aturan yang berkaitan dengan lingkungan di mata para pengusaha-pengusaha besar industri pencemar air . Penyebab lainnya yang tidak kalah penting adalah korupsi di hampir sebagian besar lembaga-lembaga negara, hal ini mengakibatkan negara kesulitan menggalang dana untuk konservasi dan perlindungan lingkungan, karena dana tersebut habis dikorup oleh pejabat-pejabat negara.
Terkait dengan permasalahan tersebut diperlukan kebijakan-kebijakan yang memihak terhadap lingkungan selain mengejar keuntungan-keuntungan ekonomis. Kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam aturan-aturan atau perundangan ini tetntunya akan tidak berarti dan mandul, jika tidak didukung penegakan hukum yang tegas dalam implementasi di lapangan.

3.2. Rencana Umum Tata Ruang

Penentuan rencana umum tata ruang wilayah harus dilaksanakan sebaik mungkin karena hal ini merupakan faktor penting didalam menentukan perizinan didalam pembangunan dan penetapan daerah daerah yang akan dibangun dan dilestarikan seperti untuk pembangunan daerah persawahan , perumahan, kawasan industri, pertamanan dan hutan, hutan lindung dan hutan kota,dan bila perlu dilengkapi dengan rencana detail tata ruang wilayah sehingga benturan kepentingan tidak akan terjadi.

3.3 Inventarisasi Sungai dan Kawasan Persawahan.

Perlu diadakan inventarisasi terhadap sungai dengan karekteristik dan morpologinya,hal ini sangat diperlukan agar diketahui bagaimana sistem pembangunan terhadap kawasan persawahan beririgasi dan sekaligus dapat mengatur kawasan kawasan lain yang akan dibangun seperti kawasan perumahan dan industi,sekaligus dapat mengatur sistem pembuangan air limbah yang sudah ditreatment.sehingga dampak pencemaran terhadap air irigasi dapat dikurangi .


BAB IV PENUTUP

4.1. Penutup

Dengan mempelajari secara terus menerus permasalahan yang selalu terjadi maka akan diketahui sebab akibat dari permasalahan kerusakan dan pencemaran,dalam keadaan seperti sekarang ini dunia khususnya negara indonesia dan propinsi sumatra selatan sedang berkembang membangun daerah,dimana terkadang akibat dari pembangunan daerah sering melupakan masalah-masalah yang terkait dengan lingkungan, dan diharapkan dimasa yang akan datang ilmu-ilmu lingkungan dapat sesering mungkin di sosialisasikan kepada masyarakat, agar diketahui bersama oleh aparatur pemerintah, lembaga sosial kemasyarakan dan para cendikiawan. Kebijakan dalam peraturan per-undang-undangan juga sangat berarti untuk diterapkan yang harus didukung penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran kerusakan lingkungan.
Kajian secara holistik dalam pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan di kawa san persawahan ber-irigasi harus terus dipelajari sesuai dengan perkembangan pembangunan dinegara Indonesia,hal ini untuk diperlukan untuk kebutuhan tersedianya kawasan persawa han beririgasi yang akan menghasilkan bahan konsumsi masyarakat indonesia berupa beras,maka jika persawahan berigasi tersebut setiap tahun arealnya akan berkurang yang disebabkan kebutuhan akan perumahan,kawasan industri ,infra struktur lainnya dan lebih lebih lagi akibat erosi,longsor,kebakaran hutan maka penghasilan pangan beras yang diharapkan dari lahan persawahan berigasi akan berkurang, yang pada akhirnya kekurangan pangan itu akan ditutupi dengan meng impor beras dari negara lain,berarti untuk kebutuhan pangan beras yang di impor tersebut akan mengurangi devisa negara.
Dari hasil hasil pendalaman tersebut diatas perbaikan permasalahan kebutuhan akan persawahan beririgasi dan permasalahan degradasi lahan persawahan akibat kebutuhan masyarakat dan industri dan juga karena bencana alam seperti erosi,longsor dan kebakaran hutan serta polusi air limbah yang menyebabkan terkontaminasinya air,pencemaran air yang akan menurunnya kwalitas dan kwantitas beras hasil persawahan beririgasi sangan perlu dikaji secara terus menerus mengikuti perkembangan pembangunan secara holistik.yang pada akhirnya nanti permasalahan permasalahan tersebut dapat berkurang dan Indonesia akan menjadi negara pemerhati lingkungan dan penghasil pangan beras didunia.

Senin, 07 Desember 2009

teori evolusi

Catatan Fosil Membantah Evolusi

Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup berasal dari satu nenek moyang. Spesies yang ada sebelumnya lambat laun berubah menjadi spesies lain, dan semua spesies muncul dengan cara ini. Menurut teori tersebut, perubahan ini berlangsung sedikit demi sedikit dalam jangka waktu jutaan tahun.
Dengan demikian, maka seharusnya pernah terdapat sangat banyak spesies peralihan selama periode perubahan yang panjang ini.
Sebagai contoh, seharusnya terdapat beberapa jenis makhluk setengah ikan - setengah reptil di masa lampau, dengan beberapa ciri reptil sebagai tambahan pada ciri ikan yang telah mereka miliki. Atau seharusnya terdapat beberapa jenis burung-reptil dengan beberapa ciri burung di samping ciri reptil yang telah mereka miliki. Evolusionis menyebut makhluk-makhluk imajiner yang mereka yakini hidup di masa lalu ini sebagai "bentuk transisi".
Jika binatang-binatang seperti ini memang pernah ada, maka seharusnya mereka muncul dalam jumlah dan variasi sampai jutaan atau milyaran. Lebih penting lagi, sisa-sisa makhluk-makhluk aneh ini seharusnya ada pada catatan fosil. Jumlah bentuk-bentuk peralihan ini pun semestinya jauh lebih besar daripada spesies binatang masa kini dan sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan di seluruh penjuru dunia. Dalam The Origin of Species, Darwin menjelaskan:
"Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis bentuk peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama…. Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lampau hanya dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan fosil."
Bahkan Darwin sendiri sadar akan ketiadaan bentuk-bentuk peralihan tersebut. Ia berharap bentuk-bentuk peralihan itu akan ditemukan di masa mendatang. Namun di balik harapan besarnya ini, ia sadar bahwa rintangan utama teorinya adalah ketiadaan bentuk-bentuk peralihan. Karena itulah dalam buku The Origin of Species, pada bab "Difficulties of the Theory" ia menulis:
... Jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat sejumlah besar bentuk transisi di mana pun? Mengapa alam tidak berada dalam keadaan kacau-balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup dengan bentuk sebaik-baiknya?.... Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak terhitung?.... Dan pada daerah peralihan, yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama kesulitan ini sangat membingungkan saya.
Satu-satunya penjelasan Darwin atas hal ini adalah bahwa catatan fosil yang telah ditemukan hingga kini belum memadai. Ia menegaskan jika catatan fosil dipelajari secara terperinci, mata rantai yang hilang akan ditemukan.
Karena mempercayai ramalan Darwin, kaum evolusionis telah berburu fosil dan melakukan penggalian mencari mata rantai yang hilang di seluruh penjuru dunia sejak pertengahan abad ke-19. Walaupun mereka telah bekerja keras, tak satu pun bentuk transisi ditemukan. Bertentangan dengan kepercayaan evolusionis, semua fosil yang ditemukan justru membuktikan bahwa kehidupan muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam bentuk yang telah lengkap. Usaha mereka untuk membuktikan teori evolusi justru tanpa sengaja telah meruntuhkan teori itu sendiri.
Fosil-Fosil Hidup
Teori evolusi menyatakan bahwa spesies makhluk hidup terus-menerus berevolusi menjadi spesies lain. Namun ketika kita membandingkan makhluk hidup dengan fosil-fosil mereka, kita melihat bahwa mereka tidak berubah setelah jutaan tahun. Fakta ini adalah bukti nyata yang meruntuhkan pernyataan evolusionis.


Seorang ahli paleontologi Inggris ternama, Derek V. Ager, mengakui fakta ini meskipun dirinya seorang evolusionis:
Jika kita mengamati catatan fosil secara terperinci, baik pada tingkat ordo maupun spesies, maka yang selalu kita temukan bukanlah evolusi bertahap, namun ledakan tiba-tiba satu kelompok makhluk hidup yang disertai kepunahan kelompok lain.
Ahli paleontologi evolusionis lainnya, Mark Czarnecki, berkomentar sebagai berikut:
Kendala utama dalam membuktikan teori evolusi selama ini adalah catatan fosil; jejak spesies-spesies yang terawetkan dalam lapisan bumi. Catatan fosil belum pernah mengungkapkan jejak-jejak jenis peralihan hipotetis Darwin - sebaliknya, spesies muncul dan musnah secara tiba-tiba. Anomali ini menguatkan argumentasi kreasionis*) bahwa setiap spesies diciptakan oleh Tuhan.
Mereka juga harus mengakui ke-sia-siaan menunggu kemunculan bentuk-bentuk transisi yang "hilang" di masa mendatang, seperti yang dijelaskan seorang profesor paleontologi dari Universitas Glasgow, T. Neville George:
Tidak ada gunanya lagi menjadikan keterbatasan catatan fosil sebagai alasan. Entah bagaimana, catatan fosil menjadi berlimpah dan hampir tidak dapat dikelola, dan penemuan bermunculan lebih cepat dari pengintegrasian... Bagaimanapun, akan selalu ada kekosongan pada catatan fosil.
Kehidupan Muncul di Muka Bumi dengan Tiba-Tiba dan dalam Bentuk Kompleks
Ketika lapisan bumi dan catatan fosil dipelajari, terlihat bahwa semua makhluk hidup muncul bersamaan. Lapisan bumi tertua tempat fosil-fosil makhluk hidup ditemukan adalah Kambrium, yang diperkirakan berusia 500-550 juta tahun.
Catatan fosil memperlihatkan, makhluk hidup yang ditemukan pada lapisan bumi periode Kambrium muncul dengan tiba-tiba - tidak ada nenek moyang yang hidup sebelumnya. Fosil-fosil di dalam batu-batuan Kambrium berasal dari siput, trilobita, bunga karang, cacing tanah, ubur-ubur, landak laut dan invertebrata kompleks lainnya. Beragam makhluk hidup yang kompleks muncul begitu tiba-tiba, sehingga literatur geologi menyebut kejadian ajaib ini sebagai "Ledakan Kambrium" (Cambrian Explosion).
Sebagian besar bentuk kehidupan yang ditemukan dalam lapisan ini memiliki sistem kompleks seperti mata, insang, sistem peredaran darah, dan struktur fisiologis maju yang tidak berbeda dengan kerabat modern mereka. Misalnya, struktur mata majemuk berlensa ganda dari trilobita adalah suatu keajaiban desain. David Raup, seorang profesor geologi di Universitas Harvard, Universitas Rochester dan Universitas Chicago mengatakan: "Trilobita memiliki desain optimal, hingga dibutuhkan seorang rekayasawan optik yang sangat terlatih dan sangat imajinatif jika ingin membuatnya di masa kini".
Binatang-binatang invertebrata kompleks ini muncul secara tiba-tiba dan sempurna tanpa memiliki kaitan atau bentuk transisi apa pun dengan organisme bersel satu yang merupakan satu-satunya bentuk kehidupan di bumi sebelum mereka.
Richard Monastersky, editor Earth Sciences, salah satu terbitan populer dalam literatur evolusionis, memberikan pernyataan di bawah ini mengenai "Ledakan Kambrium" yang muncul sebagai kejutan besar bagi evolusionis:
Setengah milyar tahun lalu, binatang-binatang dengan bentuk-bentuk sangat kompleks seperti yang kita lihat pada masa kini muncul secara tiba-tiba. Momen ini, tepat di awal Periode Kambrium Bumi sekitar 550 juta tahun lalu, menandai ledakan evolusioner yang mengisi lautan dengan makhluk-makhluk hidup kompleks pertama di dunia. Filum binatang besar masa kini ternyata telah ada di awal masa Kambrium. Binatang-binatang pertama itu pun berbeda satu sama lain sebagaimana binatang-binatang saat ini.
Mata Trilobita
Trilobita yang muncul secara tiba-tiba pada periode Kambrium memiliki struktur mata yang sangat kompleks. Mata ini terdiri dari jutaan partikel kecil menyerupai sarang lebah dan sebuah sistem lensa ganda. Sebagaimana ungkapan David Raup, seorang profesor geologi, mata ini merupakan "sebuah desain optimal, hingga dibutuhkan seorang rekayasawan optik yang sangat terlatih dan sangat imajinatif jika ingin membuatnya di masa kini".
Mata ini muncul 530 juta tahun lalu dalam kondisi sempurna. Tidak diragukan lagi, kemunculan secara tiba-tiba dari desain menakjubkan ini tidak dapat dijelaskan dengan evolusi, dan membuktikan adanya penciptaan.
Lebih jauh lagi, struktur mata trilobita tetap bertahan hingga sekarang tanpa ada perubahan sedikit pun. Beberapa serangga seperti lebah dan capung memiliki struktur mata yang sama dengan trilobita.*) Keadaan ini menggugurkan anggapan evolusionis bahwa makhluk hidup ber-evolusi secara progresif dari bentuk primitif ke bentuk kompleks.

________________________________________
(*) R. L. Gregory, Eye and Brain: The Physiology of Seeing, Oxford University Press, 1995, s. 31.

Bagaimana bumi ini dipenuhi berbagai jenis binatang secara tiba-tiba dan bagaimana spesies-spesies yang berbeda-beda ini muncul tanpa nenek moyang yang sama adalah pertanyaan yang masih belum terjawab oleh evolusionis. Richard Dawkins, ahli zoologi Oxford, salah satu pembela evolusionis terkemuka di dunia, berkomentar mengenai realitas ini:
Sebagai contoh, lapisan batuan Kambrium yang berumur sekitar 600 juta tahun, adalah lapisan tertua di mana kita menemukan sebagian besar kelompok utama invertebrata. Dan kita dapati sebagian besarnya telah berada pada tahap lanjutan evolusi, saat pertama kali mereka muncul. Mereka seolah-olah ditempatkan begitu saja di sana, tanpa proses evolusi. Tentu saja, kesimpulan tentang kemunculan tiba-tiba ini menggembirakan kreasionis.
Dawkins terpaksa mengakui, "Ledakan Kambrium" adalah bukti kuat adanya penciptaan, karena penciptaan adalah satu-satunya penjelasan mengenai kemunculan bentuk-bentuk kehidupan yang sempurna secara tiba-tiba di bumi ini. Douglas Futuyma, ahli biologi evolusionis terkemuka mengakui fakta ini dan mengatakan: "Organisme muncul di muka bumi dengan dua kemungkinan: dalam bentuk yang telah sempurna atau tidak sempurna. Jika muncul dalam bentuk tidak sempurna, mereka pasti telah berkembang dari spesies yang telah ada sebelumnya melalui proses modifikasi. Jika mereka memang muncul dalam keadaan sudah berkembang sempurna, mereka pasti telah diciptakan oleh suatu kecerdasan dengan kekuasaan tak terbatas." Darwin sendiri menyadari kemungkinan ini ketika menulis: "Jika banyak spesies benar-benar muncul dalam kehidupan secara serempak dari genera atau famili-famili yang sama, fakta ini akan berakibat fatal bagi teori penurunan dengan modifikasi perlahan-lahan melalui seleksi alam." Agaknya, periode Kambrium merupakan "pukulan mematikan" bagi Darwin. Inilah yang membuat seorang ahli paleo-antropologi evolusionis dari Swiss, Stefan Bengston, mengakui ketiadaan mata rantai transisi saat ia menjelaskan tentang periode Kambrium. Ia mengatakan: "Peristiwa yang mengecewakan (dan memalukan) bagi Darwin ini masih membingungkan kami".
Seperti yang kita pahami, catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berevolusi dari bentuk primitif ke bentuk yang lebih maju, tetapi muncul secara tiba-tiba dan dalam keadaan sempurna. Ringkasnya, makhluk hidup tidak muncul melalui evolusi, tetapi diciptakan.
Menurut pendapat kami mengenai teori evolusi..
Pada saat ini teori evolusi yang diakui bahwa kehidupan tlah mengalami perobahan atau berevolusi melalui dua mekanisme alam yaitu seleksi alam dan mutasi, hal ini merupakan dua mekanisme alam yang saling melengkapi.seleksi alam adalah karena mahluk mahluk hidup yang lebih mampu menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan habitatnya yang akan mendominasi dengan cara memiliki keturunan yang mapu bertahan hidup.
Sebagai contoh : dalam habitat rusa yang hidup selalu mendapat ancaman dari hewan pemangsanya maka secara alamiah rusa rusa yang bisa berlari kencang dia akan bertahan hidup, nah hal ini benar,tetapi sampai kapanpun proses ini tetap berlansung..kemudian proses berlanjut rusa itu tetap menjadi rusa tidak pernah rusa tersebut menjadi spesies lain
Dapat dinyatakan lagi bahwa seleksi alam sama sekali tidak memberikan konstribusi kepada teori evolusi sebab mekanisme tidak pernah mampu menambah atau memperbaiki informasi genetis satu spesies menjadi spesies lainya..seperti bintang laut tidak pernah menjadi ikan.ikan tidak pernah menjadi katak,katak tidak pernah menjadi buaya,atau cecak tidak pernah tokek,kadal tidak pernah menjadi biawak..
Jadi fakta fakta teori yang juga menhancurkan tori evolusi memang tlah membuat kehawatiran darwin yang dinyatakannya: jika dapat menunjukkan suatu organ kompleks yang tidak terbentuk melalui banyak modifikasi kecil bertahap,maka teori saya akan sepenuhnya runtuh...

Terima kasih

Apriadi s busri..20093602007
Mahasiswa program doktor bidang ilmu ilmu lingkunan ,pasca sarjana universitas sriwijaya..a

Senin, 30 November 2009

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS SOSIALISASI LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN FORMAL

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS SOSIALISASI LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN FORMAL

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup adalah satu kesatuan komunitas yang terdiri dari tanah, air, udara, flora dan sumber daya lainnya berserta makhuk hidup yang ada didalamnya. Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah mengalami degradasi lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA), penurunan tersebut baik secara kuantitas maupun kualitas. Penurunan degradasi ini dapat disebabkan oleh faktor alami maupun faktor non alami seperti tindakan manusia yang sengaja atau tidak sengaja yang memberikan dampak kepada degradasi lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab dengan cara mengekploitasi lingkungan hidup secara berlebih-lebihan. Manusia yang melakukan perusakan terhadap lingkungan hidup ini bertujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa memperdulikan dampak kerugian yang ditimbulkan.

Meningkatkan populasi manusia di bumi, semakin meningkatkan aktivitas terhadap lahan dan sumber daya potensial didalamnya dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia sehingga dalam jangka panjang akan terjadi ketergantungan yang luar biasa pada lingkungan alam. Ketika budaya dan cara pandangan seperti ini mewabah dan menjangkit semua orang, maka ekspoitasi terhadap alam dan lingkungan menjadi sebuah aktivitas yang lazim dilakukan, apalagi jika banyak pihak merasa diuntungkan dengan aktivitas tersebut.

Selama berapa dekade terakhir, isu kerusakan lingkungan telah mulai banyak disuarakan oleh masyarakat diberbagai belahan dunia. Kerusakan lingkungan hidup dapat berakibat kerugian multi dimensi yang sangat besar seperti pemiskinan lahan (melalui erosi), sumber air tanah yang menipis, hilangnya habitat alami dan berubahnya pola iklim baik setempat (iklim mikro) maupun iklim global (iklim makro). Tanpa adanya upaya konsepsional, dampak-dampak negatif tersebut sejalan dengan perubahan waktu akan berproses secara sinergis sehingga menimbulkan bencana alam yang dahsyat dan akan berjalan secara akseleratif (berjalan ganda semakin cepat). Hal ini terbukti dengan beberapa kali terjadinya bencana longsor, banjir, kebakaran hutan.

Selain pencemaran lingkungan darat, pencemaran udara akibat polusi dan efek rumah kaca kini banyak mencapai titik kulminasi merupakan fakta terparah yang tengan terjadi. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya kerusakan lapisan ozon dan pada puncaknya akan terjadi pemanasan global (global warming). Hal itu terjadi karena senyawa-senyawa kimia yang secara tidak sadar terus kita produksi dalam aktivitas sehari-hari akan menyebabkan timbulnya lubang di lapisan ozon yang berfungsi melindungi dari radiasi ultraviolet. Selain itu, penggunaan bahan bakar yang dapat menyebabkan terbentuknya gas-gas panas yang tidak dapat keluar dari lapisan atmosfer menjadi catatan kelam tersendiri dalam daftar panjang kerusakan lingkungan udara saat ini.

Oleh karena itu, diperlukan suatu kesadaran dan kepedulian dari semua elemen masyarakat untuk berperan serta dalam mengeleminasi degradasi lingkungan hidup dan dalam penanggulangan masalah degradasi lingkungan hidup sesuai dengan kapasitas kemampuan masing-masing.

B. Permasalahan yang dihadapi
Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindar dari penggunaan sumber daya alam, namun eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan. Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan sehingga dikhawatirkan akan memberikan dampak besar terhadap kehidupan manusia di bumi, terutama dengan besarnya populasi manusia. Beberapa masalah lingkungan hidup dan sumber daya yang dapat digambarkan adalah :
 Menurunnya kondisi hutan.
 Kerusakan Daerah aliran sungai (DAS)
 Rusaknya habitat ekosistem pesisir dan laut.
 Masih lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu.
 Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan.
 Perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming)
 Belum adanya alternatif pendanaan lingkungan.
 Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.

C. Tujuan
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam yang berupa tanaj, air dan udara dan sumber daya alam lainnya yang termasuk kedalam sumber daya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun, harus disadari bahwa sumber daya alam yang kita punyai memiliki keterbatasan didalam banyak hal, seperti keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Selain itu sumber daya tertentu juga mempunya keterbatasan dalam waktu dan ruang. Untuk itulah, dibutuhkan suatu pengelolaan sumber daya yang bijaksana dan baik antara lingkungan dan manusia yang saling mempunyai kaitan yang sangat erat. Ada saatnya dimana manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya sehingga dapat melakukan akitivitas kehidupan sehari-hari.

Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumber daya alam, namun ekspoitasi sumber daya alam yang berlebihan mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan. Oleh sebab itu, makalah ini berusaha untuk mengungkapkan suatu gambatan peningkatan penanggulan lingkungan hidup dengan cara melakukan sosialisasi di lingkungan formal.







II. Tinjauan Pustaka
A. Potret Lingkungan Hidup Di Daerah
Kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sector dan wilayah, dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan suatu perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Didalam pelaksanaan melibatkan banyak pihak serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan.

Partisipasi berbagai pihak dan pengawasan serta penataan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan dapat dijadikan suatu acuan untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat betul-betul diimplementasikan dilapangan dan tidak hanya sekedar slogan saja. Namun, pelaksanaan dilapangan sering kali bertentangan dengan apa yang telah direncanakan dan diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu.

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup didaerah dalam era otonomi daerah antara lain:
 Pendanaan yang masih kurang untuk bidang lingkungan hidup. Suatu program kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apalagi mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD untuk lingkungan masih terlalu rendah.
 Keterbatasan sumber daya manusia. Dalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai haruslah juga didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni. Saat ini masih banyak sumber daya manusia yang belum mendukung untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup.
 Eksploitasi sumber daya alam yang masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumber daya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan yang bertujuan untuk kesejehteraan masyakarat, namun pada kenyataannya tidaklah demikian, eksploitasi bahan tambang logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan yang seharusnya diperhatikan lebih banyak diabaikan, sehingga terjadi ketidakseimangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup belum dapat porsi yang sama dengan masalah perekonomian.
 Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Masih lemahnya pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup oleh sebagian besar masyarakat, hal ini perlu untuk diperhatikan dan ditingkatkan.
 Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dinikmati. Dari sisi ekonomi, penerapan teknologi instan ini menguntungkan tetapi merugikan lingkungan hidup. Contohnya penggunaan pupuk pestisida yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
 Lemahnya implementasi peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih sangat lemah. Ada beberapa pihak yang tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu.
 Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundnagan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan) namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukumnya.

Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.

B. Permasalahan Lingkungan yang sedang dihadapi saat ini.
1. Menurunnya kondisi hutan.
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, yang tidak hanya menunjang perekomian nasional tetapi juga untuk menjaga daya dukung lingkungan terhadap ekosistem. Indonesia dengan luas hutan terbesar dibandingkan Negara-negara ASEANm memiliki laju deforestasi tertinggi. Hal ini dapat mengakibatkan jumlah satwa Indonesia akan terancam punah tertinggi bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya.

Sebagian besar keanekaragaman hayati daerah tropis tersimpan dalam ekosistem hutan. Rusaknya ekosistem hutan berarti hilangnya sumber-sumber keanekaragaman hayati. Hutan merupakan jantung bagi sirkulasi oksigen dan karbondioksida, yang dapat menekan gas rumah kaca pemicu perubahan iklim. Walaupun luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan di bumi, total hutan Indonesia mencapai 120,35 juta hektar yang merupakan hutan tropis kedua terluas di dunia setelah Brazil. Hutan Indonesia merupakan setengah dari hutan tropis Asia saat ini.

Hutan juga merupakan sumber pendapatan negara potensial, dengan nilai US$ 6,6 miliar di tahun 2003 atau 13,7% pendapatan ekspor non migas. Jika memasukkan ekspor lokal yang tidak terdaftar, total pendapatan ekspor sektor kehutanan diperkirakan dapat mencapai lebih dari US$ 8 miliar. Masyarakat yang tinggal, hidup dan bergantung pada ekosistem hutan pada tahun 2007 berjumlah kurang lebih 48,8 juta penduduk. Dari keseluruhan penduduk yang hidup disekitar kawasan hutan itu, 10,2 juta orang diantaranya berada dalam keadaan miskin.
Ketergantungan pada sumber daya hutan menyebabkan perambahan hingga ke hutan lindung, yang pada tahun 2005 mencapai luasan 16.410 hektar dan perladangan berpindah seluas 13.823 hektar. Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Indonesia tercatat bahwa kerusakan hutan di Indonesia periode 2006 mencapai 59,2 juta ha, dengan laju deforestasi dan kegiatan pertambangan mencapai 1,6 – 2,4 juta hektar/tahun.

Kemerosotan kualitas sumber daya hutan terutama disebabkan oleh eksploatasi sumberdaya alam secara besar-besaran, baik legal maupun ilegal, kebakaran hutan, konversi lahan dan perambahan hutan. Kerusakan hutan telah menyebabkan bencana alam, seperti banjir dan longsor di musim hujan, kekeringan di musim kemarau dan hilangnya berbagai jenis keanekaragaman hayati yang mempunyai potensi dan menjadi sumber kehidupan masyarakat serta juga hilangnya kemampuan ekosistem hutan menyediakan jasa lingkungannya.

Kerusakan hutan juga menyumbang pada percepatan terjadinya perubahan iklim global, dengan meningkatnya emisi karbon akibat kebakaran hutan dan pembukaan hutan terutama hutan gambut. Pengurangan deforestasi, upaya konservasi dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi dapat membantu penyerapan emisi gas rumah kaca.

2. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS)
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juta dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya.

Banyak orang mengkaitkan peristiwa banjir dan tanah longsor dengan banyaknya illegal logging yang belakangan ini marak terjadi. ada juga yang menganggap bencana-bencana alam tersebut terjadi akibat saluran dan sungai yang tidak normal, sungai tidak mampu menampung aliran permukaan karena penuh sampah, daerah bantaran sungai dan daerah resapan dipakai sebagai permukiman. Mengapa banjir dan tanah longsor bias terjadi? Didalam DAS penggunaan lahan dibedakan atas: a) Hutan, biasanya berada di hulu, b) Kawasan budidaya,perkebunan,pertanian, c) Pemukiman, d) Rawa, waduk atau danau, bantaran sungai, e) Lahan industry, dan lain-lain. Air yang hujan dalam kawasan DAS akan mengalami beberapa kejadian yang berbeda.
 Pertama, air hujan yang jatuh dikawasan hutan akan menjadi uap kembali (evaporasi), mengalir urut batang (stemflow) turun ke tanah atau jatuh langsung dari dahan, ranting dan daun langsung ke tanah. Karena pada umumnya lapisan permukaan tanah hutan terdiri dari bahan organic (horizon O) yang berasal dari dekomposisi bahan tanaman, maka air yang sampai ke tanah akan mudah diresapkan kedalam tanah. Air yang jatuh ke tanah akan ditahan oleh lapisan tumbuhan bawah, berupa semak dan perdu, serta lapisan humus sehingga sedikit merusak partikel tanah.
 Kedua, lahan pertanian biasanya intensip digarap, disiangi, dipupuk sehingga tanaman bawah bersih. Akibatnya air hujan yang jatuh ketanah dapat langsung mencerai-beraikan partikel tanah dipermukaan lahan dan terjadi erosi. Hujan yang jatuh langsung dari langit ke permukaan lahan akan mencerai-beraikan partikel tanah dengan energy yang lebih besar sehingga erosinya akan semakin besar. Apalagi saat menjelang musim tanam, lahan biasanya dibersihkan sehinga saat hujan datang tetapi tanaman belum mampu melindungi tanah maka erosi akan terjadi. air yang meresap kedalam tanah lebih sedikit daripada yang mengalir sebagai aliran permukaan tanah (run-off) yang mampu menyebabkan erosi dan mengalir ke sungai bersama sedimen yang terangkut. Tanaman keras perkebunan berfungsi sama atau hamper sama dengan tanaman hutan. Karena dibawah tegakan terdapat tanaman penutup tanah yang mampu menahan pukulan air hujan. Air yang jatuh ke tanah akan meresap ke dalam tanah. Demikian pula, aliran permukaan dihambat oleh tanaman penutup, sisanya masuk ke sungai. Volume run-off dihambat oleh tegakan tanaman perkebunan, demikian pula sedimennya.
 Ketiga, pemukiman terutama di perkotaan sebagian besar terdiri dari bangunan kedap air, atap, halaman beton, jalanan aspal, saluran beton, sehingga air tidak diberi kesempatan meresap kedalam tanah. Akibatnya hampir semua air hujan mengalir ke sungai utama dan berakhir ke laut, waduk dan atau danau, termasuk semua bentuk limbah yang diangkut. Makin luas atau makin besar persentasi kawasan pemukiman dari suatu DAS maka makin besar air yang masuk ke sungai dan berpotensi menambah volume air sungai dan menimbulkan banjir di musim penghujan. Meskipun demikian erosi di kawasan pemukiman di perkotaan relative kecil disbanding dengan pedesaan atau kawasan budidaya.
 Keempat, air hujan yang jatuh ke permukaan air di waduk, danau, dam, atau sungai akan menambah langsung volume air yang tercermin dengan naiknya permukaan air. Secara langsung tidak menyebabkan erosi, tetapi kalau air tersebut mengalir maka kecepatan aliran akan dapat mengikis dinding/tebing saluran/badan air dan mengangkutnya ke hilir.
Bantaran sungai (flood plain) merupakan kawasan cadangan aliran sungai. Dalam keadaan aliran sungai melebihi normal, maka aliran air akan memenuhi bantaran sungai. Dalam keadaan curah hujan yang luar biasa besar (siklus 50 tahunan atau lebih), air akan melimpah ke daerah rendah di sekitar bantaran sungai, padahal bantaran sungai tidak diperuntukkan bagi pemukiman.

Banjir, erosi, tanah longsor, dan kekeringan menjadi masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah. Beberapa daerah tergenang air, tanah, longsor, banjir lumpur, jalur jalan putus, dan rakyat perkampungan terisoloasi pada musim penghujan. Pada musim kemarau, bantak rakyat mengalami kekurangan air bersih, beribu-ribu hektar tanaman padi mengalami kekurangan air, pembangkit listrik tenaga air menurun kapasitasnya, waduk dan saluran pengairan kering. Jika suatu daerah terancam gagal panen, kekurangan pangan akan mengancam wilaya lainnya, dan stock pangan bulog terancam tak terpenuji karena gagal panen, sehingga harus menyebabkan impor. Kejadian ekstrim ini silih berganti antara musim kemarau dan penghujan.

3. Rusaknya habitat ekosistem pesisir dan laut.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di Coral Triangle yang merupakan pusat episentrum keanekaragaman hayati laut dunia, dengan lebih dari 70 genera karang keras. Jumlah pulau yang ada diperkirakan lebih dari 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km. Disamping itu, dua pertiga wilayah Indonesia, yaitu seluas 580 juta hektar adalah perairan laut. Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar 51.000 km2, yang ternyata melingkupi 51% dari terumbu karang di Asia Tenggara, dan 18% terumbu karang di dunia. 37% dari jenis ikan dunia hidup didalam wilayah Indonesia.

Proses evolusi pada pulau-pulau kecil sering menyebabkan terbentuknya spesies endemik yang khas pada pulau-pulau tersebut, karena isolasi geografis yang menyebabkan seleksi alam dan proses adaptasi untuk tiap pulau akan berbeda. Endemisitas spesies pada pulau-pulau yang berbeda ini akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kekayaan keanekaragaman hayati dunia. Dari segi ekologi, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap tekanan penduduk dan perubahan iklim. Kombinasi antara ukuran pulau yang kecil dan jumlah penduduk yang besar dapat mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya alam yang terbatas di ekosistem tersebut.

Masyarakat dan negara menggantungkan pendapatannya dari ekosistem ini. Secara umum, diperkirakan sekitar 16% penduduk Indonesia bergantung pada sumber daya laut untuk kecukupan protein sumber pangannya. Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi antara lain: perikanan, perlindungan pesisir, farmasi, kosmetika, pariwisata dan regulasi iklim. Jika divaluasi, nilai dari produk dan jasa ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1.6 miliar per tahun. Industri di pesisir dan laut, seperti pabrik minyak dan gas, transportasi, perikanan, dan pariwisata, mewakili 25% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Negara dan 15% dari lapangan pekerjaan di Indonesia. Indonesia juga merupakan eksportir karang hias terbesar di dunia.

Ancaman bagi ekosistem ini sangat besar, mulai dari penangkapan ikan secara berlebihan disertai cara-cara penangkapan yang destruktif sifatnya, seperti pengeboman dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan juga terjadi pada habitat pesisir laut yang disebabkan antara lain oleh aktivitas kerusakan di hulu, bahan buangan industri, sampah rumah tangga, polusi bahan pertanian dan limbah bahan bakar transportasi laut. Pembangunan wilayah pesisir yang tak terintegrasi serta penambangan pasir yang tak terkendali menyebabkan terkikisnya ekosistem pesisir. Ancaman lain adalah akibat perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya temperatur laut dan menyebabkan terjadinya pemutihan karang yang luas di Indonesia.

4. Masih lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu.
Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan illegal lainnya banyak terjadi. Diperkirakan kegiatan-kegiatan illegal tersebut saja telah menyebabkan hilangnya hutan seluas 1,2 juta hektar per tahun, melebihi luas hutan yang ditebang berdasarkan ijin Departemen Kehutanan. Selain penegakan hukum yang lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.

5. Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan.
Sumber daya manusia, pendanaan, sarana-prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Sebagai contoh, jumlah polisi hutan secara nasional adalah 8.108 orang. Hal ini berarti satu orang polisi hutan harus menjaga sekitar 14.000 hektar hutan. Dengan pendanaan, sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah tersebut jelas tidak memadai karena kondisi yang ideal satu polisi hutan seharusnya menangani 100 hektar (untuk kawasan konservasi di Jawa), sementara untuk kawasan konservasi di luar Jawa sekitar 5.000 hektar. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga sangat rendah.

6. Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakan pengelolaan limbah secara terpadu dan sistematis.
Meningkatnya pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan limbah padat dan sampah domestik secara signifikan, yang akhirnya membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sebagai gambaran, di Jabodetabek umur operasi TPA rata-rata tinggal 3-5 tahun lagi, sementara potensi lahan sangat terbatas. Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara serius. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Basel Convention saat ini hanya ada satu fasilitas pengolahan limbah B3 yang dikelola swasta di Cibinong. Tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya mengurangi paparan limbah padat dan B3 terhadap lingkungan.

7. Perubahan Iklim (Climate Change) dan pemanasan global (global warming)
Fenomena kekeringan (El Niño) dan banjir (La Niña) yang terjadi secara luas sejak tahun 1990-an membuktikan adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150 tahun lalu, suhu rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6°C akibat emisi gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti CO2, CH4, dan NOx dari negara-negara industri maju. Sampai tahun 2100 mendatang suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,4-5,8 °C. Keseimbangan lingkungan global terganggu, glacier dan lapisan es di kutub mencair, permukaan laut naik, dan iklim global berubah. Indonesia, sebagai negara kepulauan di daerah tropis, pasti terkena dampaknya. Oleh karena itu adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut mutlak dilakukan, khususnya yang terkait dengan strategi pembangunan sektor kesehatan, pertanian, permukiman, dan tata-ruang. Di lain pihak, isu perubahan iklim memberi peluang tersendiri bagi Indonesia, yang telah meratifikasi Kyoto Protocol, di mana negara-negara industri maju dapat ‘menurunkan emisinya’ melalui kompensasi berupa investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism) di negara berkembang seperti Indonesia.

8. Belum adanya alternatif pendanaan lingkungan.
Alokasi dana pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan negara, maka upaya pendanaan alternatif harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax. Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan negara sangat kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif.

9. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.
Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara, iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan.




III. SOSIALISASI LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN FORMAL

1. Sosialisasi Lingkungan Hidup Usia Dini
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Bapedalda dapat menyelenggarakan sosialisasi lingkungan hidup bagi anak usia dini. Kegiatan tersebut dilaksanakan bagi siswa-siswi tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para siswa TK dan SD tersebut seperti melakukan pemutaran film bertema lingkungan hidup. Setelah itu baru dilakukan penyampaian materi mengenai lingkungan hidup yang mencakup lingkungan sekitar, air, tanah dan udara. Untuk memancing minat para siswa TK dan SD tersebut dapat dilakukan dengan pemberian hadiah menarik bagi anak-anak yang mampu menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh si nara sumber.

2. Sekolah Lapangan berbasis masyarakat.
Pemerintah dalam upaya untuk membantu masyarakan dalam melakukan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dapat dilakukan dengan fasilitasi sekolah lapangan. Pendekatan pendidikan ini menyatukan proses penilaian mata pencarian berkelanjutan dalam kerangka kerja ekologi air, dan memungkinkan masyarakat mempunyai kontrol yang lebijh besar terhadap mata pencarian mereka dan lingkungan tempat tinggal. Dengan adanya sekolah lapangan ini diharapkan para peserta dapat belajar bagaimana menerapkan keterampilan dalam rehabilitasi lahan, pelestarian keanekaragaman hayati air bersih dan sanitasi berbasis masyakarat dan perubahan perilaku kesehatan dan kebersihan.

3. Kajian Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Penanggulangan Sampah Kota
Untuk melakukan penanganan sampah perkotaan dapat dilakukan dengan melakukan seminar-seminar tentangan kajian lingkungan hidup. Dalam hal ini Pemerintah dapat memberikan masukan dan solusi kepada masyarakat dalam penanggulangan sampah pada khususnya lingkungan hidup.

Beberapa pokok pikiran sebagai rumusan hasil seminar sehari tersebut antara lain:
1. Penanganan masalah lingkungan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah.
 Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak.
 Apabila sampah ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi.Air limbah bila diolah tidak akan merugikan
 Kendala utama adalah masalah SDM karena UU dan Hukum sudah lengkah, dan sosialisasi telah dilaksanakan.
 Harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat
2. Pemberdayaan Masyarakat di lokasi pembuangan sampah
 Sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi.
 Merubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah
 Pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru.
Upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi/KIE dalam pengelolaan sampah kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat.
 Upaya pengembangan pembentukan kelompok usaha produktif
 Pengembangan Pengolahan melalui metode 4 R (Reduce, Reuse, Recycle, Replace
 Mekanisme operasional pengelolaan sampah melalui PKK
 Kompos digunakan oleh KWT (Kelompok Wanita Tani)
3. Pokok-pokok Pikiran Akademis dalam mengatasi masalah sampah :
 Sampah bukan harus dibuang, tetapi harus dikelola
 Pengelolannya perlu memberdayakan masyarakat
 Terbuka peluang usaha
 Implementasi perlu melibatkan pihak : masyarakat, swasta/mitra kerja, pemerintah.
4. Harapan penduduk/masyarakat yang bermukim dekat TPA
 Sampah semula jadi masalah yang besar, namun bila dikelola dengan baik dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
5. Pokok-Pokok Pikiran dalam mengatasi masalah persampahan di perkotaan :
 Sampah bisa menjadi nilai ekonomi
 Dalam pelaksanaannya fenomena sampah mengundang institusi lokal
 Pemerintah/dunia usaha/masyarakat harus sinergis menanggulangi sampah dengan pendekatan bisnis.
 Dianjurkan penanggulangan sampah skala komunal terbatas 1 RT atau per 100 rumah
 Peran pendidikan dan sosialisasi dengan PERDA secara intensif dan sanksi


4. PENINGKATAN KAPASITAS KADER LINGKUNGAN HIDUP MASYARAKAT TRADISIONAL DAN ADAT MELALUI PELATIHAN PEMBIBITAN TANAMAN KEHUTANAN.
Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan kapasitas kader pedesaan (tradisional dan adat) peduli Lingkungan Hidup baik Sumber Daya Manusia maupun kelembagaan. Melalui kegiatan pelatihan pengelolaan Sumber Daya Alam ramah lingkungan dan pembuatan kebun bibit berbasis swadaya masyarakat, diharapkan sumber daya manusia (SDM) kader dapat ditingkatkan.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan pada ekosistem Irigasi

Pencemaran dan kerusakan lingkungan pada ekosistem Irigasi

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan dan pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.

Irigasi merupakan faktor kunci bagi ketahanan pangan di Indonesia, air untuk irigasi pertanian di Indonesia sebagian besar kebutuhannya dipenuhi dari pengunaan air permukaan seperti sungai dan danau yang ditampung dalam bendungan-bendungan, dimana sebagian kecil lainnya dipenuhi dengan menggunakan air tanah. Menurut Data sampai saat ini lahan pertanian di Indonesia yang beririgasi sebesar 1,971, 450 ha lahan pertanian (Prawiro, 2003), sedangkan kebutuhan air untuk 1 ha lahan sawah yang dikelola secara konvensional diperlukan sebanyak 1 liter/detik dengan asumsi laju kehilangan akibat penguapan 1-2 mm perhari, jika kita menghitung dengan cermat untuk satu kali musim tanam selama (3-4 bulan) maka akan dihabiskan air sebanyak 11.509. 200 liter/ha (Prawiro, 2006). Berapa air yang diperlukan untuk mengairi lahan pertanian sebesar di atas?, diperkirakan diperlukan sebanyak 100 milyar m3/tahun. Sementara dari sektor rumah tangga diperkirakan untuk per 1000 orang diperlukan air sebanyak 31.356 m3 /tahun, setiap mencetak sawah satu hektar selama setahun diperlukan air sebanyak 41.109 m3 /tahun, sehingga dapa disimpulkan setiap satu hektar sawah bersaing dengan sekitar 1.300 orang (Prawiro, 2006).


Sementara di sisi lain hasil pencitraan satelit luas hutan Indonesia hanya sebesar 18,57%, idealnya luas hutan harus mencapai 30% dari seluruh total wilayah agar keseimbangan air terjaga (Prawiro, 2006), keadaan ini mengakibatkan Indonesia menjadi daerah langganan Banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Permasalahan lain yang berkaitan dengan air adalah tingkat pencemaran air yang terus meningkat dari tahun ketahun yang disebabkan oleh laju populasi yang tidak terkendali dan fenomena industry “masuk desa: akibat dibukanya “kran” kebebasan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya secara mandiri, membuat daerah beramai-ramai mengikat investor untuk membangun industry didaerahnya dengan menawarkan pajak yang menggiurkan dengan melupakan dan mengabaikan kajian dampak lingkungan, hal ini mengakibatkan roda perekonomian menjadi bergerak lebih cepat seiring dengan gradasi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh industri.

Mengupas permasalahan berkaitan dengan air tidak terlepas dari cerita siklus hidrologi air. Akibat dari energi terjadi proses evaporasi pada permukaan bumi dan menghasilkan uap air, kemudian uap air ini akan mengalami kondensasi dan turunlagi ke bumi sebagai hujan (Lubis, 2007). Secara lebih jelas dapat di lihat pada gambar berikut.

Hujan yang turun kepermukaan bumi, kemudian ada yang mengalir dipermukaan menjadi sungai, danau dan ada sebagian yang terus meresap ke dalam tanah dan sebagian ada yang menguap lagi, air yang mengalir dipermukaan di sebut dengan air permukaan, sedangkan yang meresap ke dalam tanah disebut dengan air tanah. Air yang dimanfaatkan untuk irigasi di Indonesia, biasanya menggunakan air permukaan ini sebagian kecil memanfaatkan air tanah.

B. Permasalahan

Akar dari permasalahan air termasuk pencemaran air untuk irigasi disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang tidak terkendali, pertumbuhan populasi ini mengakibatkan terjadinya pergeseran penggunaan guna lahan (tata guna lahan) dari hutan dan pertanian menjadi wilayah pemukiman dan industri, di satu sisi perubahan ini membawa dampak perubahan ekonomi yang signifikan, namun di sisi lain perubahan ini banyak mengakibatkan permasalahan terhadap lingkungan, berkurangnya daerah resapan air akibat peralihan tataguna lahan mengakibatkan berkurangnya musim kemarau. Selain itu akibat pertambahan populasi dan perkembangan industri yang cukup pesat mengakibatkan produksi limbah industri dan domestic menjadi ikut-ikutan meningkat pula, dan hampir sebagian besar limbah-limbahj tersebut dibuang seenaknya di sungai-sungai tanpa terlebih dahulu melakukan treatment untuk mereduksi polutan-polutan berbahaya yang terdedah dalam air sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran air.

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan terhadap ekosistem irigasi,perlu diketahui pengembangan irigasi di indanesia agar masyarakat petani dapat menikmati sistim irigasi yang baik,petani dapat merasakan kemudahan didalam bertani dengan irigasi teknik yaitu bagamana air mengalir dengan sempurna melalui bendung yang menangkap air dari sumbernya dan air dibawa oleh saluran pembawa utama/primer kemudian sekunder,tersier dan kwarter,dengan memanfaatkan air irigasi dan teknik pertanian seperti pemupukan dan system pembagian air dengan teratur pada akhirnya petani akan dapat hasil sesuai dgn harapan.,permasalahan sekarang banyak terjadi kerusakan dan pencemaran di daerah persawahan irigasi yang diakibatkan ulah manusia serperti perobahan peruntukkan daerah sawah menjadi pabrik,perumahan,perluasan daerah kampong maupun perkotaan,juga terjadi pembuangan air limbah sembarangan dari kota maupun pabrik yang pada akhirnya terjadi kerusakan dan pencemaran pada ekosistem daerah irigasi.

Untuk itu perlu sekali dipelajari dan penelitian untuk beberapa hal tersebut supaya dari hasil penelitian dapat dipelajari bagaimana teori dan methodologinya agar permasalan ini tidak terus menerus sehingga dapat dicari jalan terbaiknya..

II. Tinjauan Pustaka

A. Irigasi

Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini banyak model irigasi yang dapat dilakukan oleh manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu persatu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. System irigasi ini sudah dimulai sejak masa Mesir kuno.

Irigasi adalah proses penambahan air untuk memenuhi kebutuhan lengas tanah bagi pertumbuhan tanaman. (Israelsen & Hansen, 1980). Sedangkan menurut PP 77/2001, Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi rawa. Menurut PP Irigasi No.20/2006, Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, pemanfaatan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Fungsi irigasi adalah memasok kebutuha air tanaman, menjamin ketersediaan air apabila terjadi betatan, menurunkan suhu tanah, mengurangi kerusakan akibat frost, dan melunakkan lapis keras pada saat pengolahan lahan.

Irigasi dapat dibedakan berdasarkan jenis-jenisnya sesuai dengan kebutuhan, antara lain:

1. Irigasi permukaan

Irigasi permukaan merupakan system irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bending maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake), kemudia air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian. Didalam system ini, dikenal saluran primer, sekunder dan tersier. Pengatruran air dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapatkan air lebih dulu.

2. Irigasi lokal

Sistem ini, air didistribusikan dengan cara pipanisasi. Disini juga berlaku gaya gravitasi dimana lahan yang tinggi mendapatkan air lebih dahulu. Namun air yang disebarkan hanya terbatas sekali atau secara local.

3. Irigasi dengan penyemprotan

Penyemprotan biasanya dipakei penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.

4. Irigasi tradisional dengan ember

Diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Selain itu irigasi ini juga melakukan pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.

5. Irigasi Pompa air

Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau, irigasi ini dapat terus mengairi sawah.

6. Irigasi tanah kering dengan terasisasi

Di Afrika, sering dipakai system terasisasi untuk distribusi air.

B. Jenis Pencemaran

Pencemaran air terjadi apabila dalam air terdapat berbagai macam zat atau kondisi (misal Panas) yang dapat menurunkan standar kualitas air yang telah ditentukan, sehingga tidak dapat digunakan untuk kebutuhan tertentu. Suatu sumber air dikatakan tercemar tidak hanya karena tercampur dengan bahan pencemar, akan tetapi apabila air tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan tertentu, sebagai contoh suatu sumber air yang mengandung logam berat atau mengandung bakteri penyakit masih dapat digunakan untuk kebutuhan industri atau sebagai pembangkit tenaga listrik, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (keperluan air minum, memasak, mandi dan mencuci).

Ada beberapa penyebab terjadinya pencemaran air antara lain apabila air terkontaminasi dengan bahan pencemar air seperti sampah rumah tangga, sampah limbah industri, sisa-sisa pupuk atau pestisida dari daerah pertanian, limbah rumah sakit, limbah kotoran ternak, partikulat-partikulat padat hasil kebakaran hutan dan gunung berapi yang meletus atau endapan hasil erosi tempat-tempat yang dilaluinya.

C. Dampak Pencemaran Air Untuk Irigasi

1. Akibat Bagi Kesehatan Manusia.

Pengaruh penggunaan air tercemar untuk irigasi pertanian bila kita kaji sebenarnya dapat berdampak positif dan negatif terhadap manusia, namun dampak positifnya hampir tidak ada satu pun kajian ilmiah yang mendukungnya, kecuali bahwa penggunaan air tercemar untuk irigasi terbukti selama ini mampu menghasilkan income bagi para petani serta menjaga ketahanan pangan di negeri ini. Sedangkan dampak negatif dari penggunaan air tercemar terkait dengan kesehatan manusia tidak perlu disangsikan banyaknya.


Kasus penggunaan air tercemar untuk irigasi yang sangat terkenal terhadap kesehatan manusia adalah kasus di Tanzania, air irigasi tercemar ini menjadi vector nyamuk Malaria yang menyebabkan Tanzania menjadi salah satu daerah endemic penyakit malaria sampai saat ini (Armon, 2002). Pengaruh negatif lain akibat penggunaan air tercemar dalam irigasi pertanian adalah kandungan air tercemar yang biasanya mengandung bakteri-bakteri patoghen dan racun-racun kimia, terkait dengan hal ini ada empat kelompok orang yang sangat berisiko tertular patoghen atau ‘teracuni’ zat kimia yaitu, 1) petani dan keluarganya, 2) buruh-buruh tani yang bekerja di lahan yang menggunakan air tercemar, 3) konsumen yang mengkonsumsi produk pertanian yang diolah dengan menggunakan air irigasi yang tercemar, dan 4) semua orang yang berdekatan dengan area pertanian yang menggunakan air tercemar terutama yang paling beresiko adalah anak-anak dan orang tua.


Air tercemar banyak mengandung organisme-organisme yang berbahaya dan menyebabkan banyak penyakit, di dalam air tercemar banyak pathogen yang mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama sampai tertransmisikan ke tubuh manusia, seperti cacing-cacing parasit (Braton, 1993), bakteri-bakteri patoghen (Armon, 2002), dan lain-lain. Penyakit cacingan yang kita kenal selama ini salah satu penyebabnya diakibatkan dari penggunaan air tercemar dalam irigasi, selain jeleknya sanitasi lingkungan. Penyakit lain selain yang disebabkan cacing adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri pathogen, bakteri-bakteri ini dilaporkan dapat mengancam pengguna air tercemar dalam irigasi dan menyebabkan penyakit seperti cholera, typhoid, shighellosis, gardiasis, dan amaebiasis.


Sedangkan dampak negatif yang terkait kandungan zat kimia berbahaya dalam air irigasi yang tercemar dapat dijelaskan sebagai berikut; biasanya zat kimia berbahaya yang terdedah dalam air yang tercemar adalah unsur-unsur logam. Pada jumlah kecil biasanya logam-logam ini secara biologis sangat diperlukan, namun dalam jumlah yang besar dapat membahayakan bagi tubuh. Beberapa zat kimia yang sering ditemukan pada air tercemar untuk irigasi antara lain adalah cobalt, tembaga, dan seng (Armon, 2002), hal ini dikarenakan tanaman tidak mengasorbsi zat kimia ini, dan dalam keadaan melebihi ambang batas dapat berbahaya bagi manusia dan tumbuhan itu sendiri, beberapa laporan penelitian mengindikasikan jika tubuh terdedah polutan ini dalam jangka waktu yang lama akibat mengkonsumsi hasil produksi pertanian yang tercemar dapat memicu terjadinya kanker.

2. Akibat Bagi Tanaman Pertanian

Akibat penggunaan air tercemar untuk irgasi pertanian bagi tanaman pertanian, paling tidak dapat diklasifikasikan menjadi dua akibat yaitu, 1) akibat terhadap hasil produksi pertanian, 2) akibat terhadap mutu produksi pertanian, seperti kehadiran polutan dalam hasil pertanian, perubahan rasa, dan lain-lain. Harus diakui bahwa hampir sebagian besar air tercemar mengandung zat-zat organik yang dapat menyuburkan tanaman, namun kondisi sebenarnya dalam air tercemar biasanya zat organic ini dalam jumlah yang berlebihan, akibat dari hal ini yaitu menyebabkan kerusakan pada tanaman, sebagai contoh kelebihan kandungan nitrogen pada tanaman akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman secara vegetatif menjadi meningkat dari pada menghasilkan buah, selain itu dampak lainnya adalah mengakibatkan penundaan kemasakan buah, temuan ini biasanya ditemukan pada tanaman padi, jangung dan beberapa tanaman lain, bila hal ini terjadi maka dapat menimbulkan kerugian bagi petani karena turunnya produksi dan mutu hasil pertanian. Ancaman lain yang dihadapi adalah terkontaminasinya tanaman pertanian oleh logam-logam berat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman itu sendiri dan manusia yang mengkonsumsinya.

3. Akibat Bagi Tanah Pertanian

Tanah merupakan campuran dari mineral dan zat organik dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada tiap-tiap daerah, dengan alasan ini rasanya sangat sulit untuk mengkaji dan meneliti apakah penggunaan air tercemar (dengan pencemar zat organic) menyebabkan ‘masalah’ bagi tanah atau malah menyebabkan kesuburan bagi tanah. Sebagai contoh nitrogen merupakan salah satu zat organik yang banyak ditemukan dalam air yang tercemar. Nitrogen dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, misalkan nitrat, nitrit, ammonia, dan nitrogen itu sendiri, banyak tanaman hanya menyerap nitrat, tetapi bentuk lain ditranformasikan ke dalam tanah, namun sampai saat ini tidak ada kajian terhadap pengaruhnya bagi tanah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh tanah, jika yang terbawa oleh air irigasi tercemar berupa logam, dalam jumlah yang normal logam ini tidak berdampak apapun bagi tanah namun dalam jumlah yang cukup besar dapat merusak struktur tanah, misalkan dapat meningkatkan PH tanah menjadi lebih asam atau lebih basa. Air irigasi tercemar yang membawa zat pencemar berbetuk solid lama-lama kelamaan akan mengumpul pada permukaan tanah dan menyebabkan tersumbatnya pori-pori tanah sehingga tanah menjadi tidak subur.

III. Rekomendasi Penanganan

Permasalahan mengenai penggunaan air tercemar untuk irigasi merupakan masalah yang mendesak untuk dipikirkan bagaimana mencari solusi penanganannya, sebelum masalah ini menjadi besar seperti yang dialami oleh Tazmania. Akar masalah dari hal ini adalah tercemarnya air untuk irigasi pertanian akibat pembuangan limbah industri dan rumah tangga terutama pada air-air permukaan. Ada beberapa rekomendasi penanganan terkait dengan hal ini antara lain adalah:

1. Tindakan Pencegahan/Preventif

Polutan seperti logam berat, dan beberapa zat organik yang bersifat toksit yang dikeluarkan oleh industri biasanya sangat sulit untuk dihilangkan dari air yang tercemar, salah satu langkah yang paling sederhana adalah ‘mencegah’ terjadinya pengotoran limbah industri dan limbah domestik pada sumber daya air. Pabrik-pabrik diwajibkan mengolah limbah mereka sampai dengan tingkat aman sebelum dapat dibuang ke sungai-sungai, perlu juga dipromosikan cleaner industri processes, juga diperlukan pendidikan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan pada masyarakat sebagai penyumbang terbesar limbah domestik.

2. Treatment Terhadap Air Pencemar

Permasalahan utama dari permasalahan air saat ini adalah sebagian besar air permukaan sudah tercemar dengan tingkat yang semakin mengkhawatirkan dari wakti ke waktu. Terkait dengan hal tersebut selain tindakan preventif seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu langkah yang terpenting adalah usaha untuk ‘menyingkirkan’ polutan-polutan yang terlanjur terdedah di dalam air tercemar tersebut. Salah satu langkah yang dapat diambil terkait dengan hal ini adalah dengan melakukan treatment pada air yang sudah tercemar untuk menurunnkan kadar polutan dalam air sehingga layak untuk dimanfaatkan bagi kehidupan sehari-hari manusia termasuk irigasi.

3. Manajemen Air dan Penegakan Hukum Yang Tegas

Kesemua solusi di atas tidak akan efketif jika tidak didukung oleh political will dari pemegang otoritas kebijakan. Pemegang kebijakan perlu mengeluarkan aturan yang memihak terhadap lingkungan tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi belaka. Banyak negara di dunia ini mempunyai sistem pemerintahan yang mal fungsi secara serius. Kebijakan yang diambil lembaga eksekutif dan legislatif, daerah kabupaten dan daerah propinsi sering kali overlaping, tidak konsisten dan yang lebih parah tidak peka terhadap permasalahan lingkungan, terutama dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan kebijakan terhadap lingkungan. Banyak hukum yang telah dibuat tidak ditegakkan dan dapat ’dibeli’, mengakibatkan tidak berwibawanya aturan yang berkaitan dengan lingkungan di mata para pengusaha-pengusaha besar industri pencemar air . Penyebab lainnya yang tidak kalah penting adalah korupsi di hampir sebagian besar lembaga-lembaga negara, hal ini mengakibatkan negara kesulitan menggalang dana untuk konservasi dan perlindungan lingkungan, karena dana tersebut habis dikorup oleh pejabat-pejabat negara.

Terkait dengan permasalahan tersebut diperlukan kebijakan-kebijakan yang memihak terhadap lingkungan selain mengejar keuntungan-keuntungan ekonomis. Kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam aturan-aturan atau perundangan ini tetntunya akan tidak berarati dan mandul, jika tidak didukung penegakan hukum yang tegas dalam implementasi di lapangan.

IV. Penutup

Dengan diadakan penelitian secara terus menerus maka akan diketahui sebab akibat dari perma salan kerusakan dan pencemaran,dalam keadaan seperti sekarang ini dunia khususnya negara indonesia dan propinsi sumatra selatan sedang berkembang membangun daerah,dimana terkadang akibat dari pembangunan daerah sering melupakan masalah-masalah yang terkait dengan lingkungan, dan diharapkan dimasa yang akan datang ilmu-ilmu lingkungan dapat sesering mungkin di sosialisasikan kepada masyarakat, agar diketahui bersama oleh aparatur pemerintah, lembaga sosial kemasyarakan dan para cendikiawan. Kebijakan dalam peraturan per-undang-undangan juga sangat berarti untuk diterapkan yang harus didukung penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran kerusakan lingkungan.

Daftar Pustaka

Lutfi, A. 2009. Sumber dan Bahan Pencemaran Air. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/ kimia-lingkungan/pencemaran-air/sumber-dan-bahan-pencemar-air/

Kerusakan Hutan meningkat, Pembangunan Irigasi sia-sia. http://www.warsi.or.id/News/2003/ News_200302_Kerusakan.htm